Pada Juni yang kering, aku mengenang suatu masa ketika kali pertama kita dinikahkan oleh semesta. Ketika itu, rambutmu yang hitam panjang dan terurai disepuh sinar matahari yang terik. Bola matamu menyala seperti purnama yang sempurna. Kau menjelma Hawa ketika aku adalah Adam yang kesepian. Kemudian kita membangun surga di kehidupan ini bersama-sama, membangun singgasana megah yang boleh jadi terlihat sederhana. Dengan beberapa bunga, pohon mangga yang remaja, dan beberapa helai rumput yang tumbuh dari sela-sela batuan.Â
Saban pagi, tiap helai daun dan reranting yang gugur di beranda rumah kita selalu kausapu dengan jeli---tiada tersisa di antara bunga kamboja merah muda yang merdeka mewarnai ruang sekehendaknya. Kau sangat menyukai ikan koi yang bergumul ke sana kemari mencari penghidupan di kolam kecil yang ada di sebelah barat taman kita. Dengan senyum tipis yang begitu manja, kau acapkali mencoba berdialog dengan mereka meski kadang-kadang tak mendapat jawaban dalam bentuk apapun.
"Lemparkan kunci ini ke kolam itu!" pintamu seusai mengunci gembok berwarna perak itu di tepi pagar rumah kita.
"Ini 'kan bukan di Perancis."
"Memangnya kenapa kalau bukan di Perancis? Bukankah harapan bisa kita tanam di mana pun?"
Aku hanya tersenyum menanggapi keinginanmu. Kau kadang-kadang begitu konyol, tetapi itu yang aku suka darimu---kesahajaanmu dalam menjalani hidup. Kau barangkali terobsesi dengan mitos yang ada di jembatan Pont des Arts yang berada di sepanjang sungai Seine di samping museum Louvre itu. Aku tentu tidak bisa menolaknya, apalagi ketika kau menunjukkan wajahmu yang cemberut itu---seakan-akan dalam kamus bahasaku hanya bisa kutemukan kata 'ya'. Maka aku lemparkan kunci yang kauberikan ke kolam di taman kita.Â
Beberapa ikan koi terlihat berpencar karena kaget. Permukaan kolam melahirkan riak kecil yang susul-menyusul. Kau memejamkan mata dan tersenyum lebih lepas dari sebelumnya. Kosakata 'bahagia' seketika telah menemukan maknanya. Gembok berwarna perak yang sedari tadi menggantung di tepi pagar itu kautatap dengan penuh harap. Ah, rupanya benda apa pun bisa menjadi indah apabila kita memaknainya, tak terkecuali sebongkah besi yang dibentuk menjadi benda bernama gembok ini.
Cinta yang abadi selalu menjadi topik pilihanmu dalam setiap perbincangan kita sejak muda. Mungkin jawabanku yang asal-asalan ketika itu secara kebetulan sesuai dengan jawaban yang kauharapkan---yang tidak kaudapatkan dari mulut lelaki mana pun. Dahulu aku pernah berkata, bahwa cinta yang abadi adalah suatu kepastian. Meskipun semua manusia bisa mati, tetapi cinta dalam hati mereka akan hidup abadi.
Sekian puluh tahun sudah setelah kunci gembok itu aku lemparkan ke kolam di taman kita, rambutmu yang dahulu panjang hitam terurai, kini hampir sepenuhnya memutih. Wajah bayi-bayi menggemaskan yang dulu sering kautunjukkan padaku di galeri handphonemu, kini sudah lahir ke dunia dan menjadi dewasa. Kau dahulu berharap memiliki tiga bayi yang menggemaskan dan bisa menghapus segala lelah setelah membanting tulang mencari penghidupan. Kini harapanmu terwujud sudah.Â
Mereka telah lahir ke dunia dan mengalami apa yang dinamakan kasmaran---seperti kita. Mereka juga telah sama-sama berkeluarga---mengurai benang kusut kehidupan dengan fondasi kasih sayang. Rupanya waktu telah memelihara mereka hingga tumbuh menjadi pelaut ulung yang siap mengarungi samudera kehidupan. Kini kita hanya tinggal berdua di istana surga yang selama ini dengan sabar menampung mimpi-mimpi kita.
Di beranda rumah, kita sama menikmati siang yang hendak bermetamorfosis menjadi sore. Tentu akan kita saksikan pula lukisan Tuhan yang berwarna jingga di ufuk barat kesukaanmu itu. Kau, seperti biasanya, akan takjub dan memendam kata-kata sehingga satu-satunya jalan kaluar bagi mereka adalah melalui bola matamu. Setiap hari, kita selalu mencoba mencatat kelahiran dan kematian waktu melaluinya. Namun, kita tak pernah sadar bahwa sebenarnya kita tengah mencoba mencatat kelahiran dan kematian kita sendiri.