Mohon tunggu...
Ghina Elzanadia Nisrina
Ghina Elzanadia Nisrina Mohon Tunggu... -

Female/Muslim/Psikologi UIN MALIKI MALANG

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Cerita Saya

2 Desember 2014   14:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:16 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Salam Kompaianer...

Saya adalah seorang Mahasiswi yang memiliki kerja sampingan yaitu mengajar les privat. Disini saya ingin bercerita. Saya mempunyai kendala dengan murid privat saya. Murid saya kelas 3 SD dan sangat sulit sekali untuk berkonsentrasi. Dia selalu mengalihkan pada pembicaraan yang tidak penting ditengah-tengah belajar. Dia bisa berhitung tetapi hanya penambahan dan pengurangan sederhana (hanya dua digit saja). Membedakan 100 dengan 1000 pun dia bingung. Dan dia juga sangat lama sekali jika disuruh menulis. Bayangkan saja, saya pernah membantunya mengerjakan Pekerjaan Rumah yang terdiri dari 4 mata pelajaran, jika saya membiarkan dia untuk belajar mengerjakan sendiri itu akan sangat memakan waktu yang sangat lama. Sehingga saya perlu menuntunnya untuk mengerjakannya agar cepat selesai. Setiap kali pertemuan, saya mengajarinya berhitung, tetapi dia selalu lupa atas apa yang sudah saya ajarkan. Saya kewalahan, namun, disini saya mengerti, anak dengan model seperti ini hanya membutuhkan guru yang sabar dan pengertian. Sehingga saya mencari bebarapa referensi buku untuk mempelajari bagaimana cara menagani anak seperti itu.

Dalam buku Nevid dkk, saya menemukan bahwa gejala seperti yang saya jelaskan diatas merupakan gangguan belajar. Gangguan belajar itu sendiri ada beberapa tipe, yaitu Gangguan matematika, gangguan menulis dan gangguan membaca.

Gangguan matematika, menggambarkan anak-anak dengan kekurangan kemampuan aritmatika. Mereka dapat memiliki masalah memahami istilah-istilah matematika dasar atau operasi seperti penjumlahan dan pengurangan. Masalah ini mungkin tampak sejak anak duduk di kelas 1 SD (6 tahun), tetapi umumnya tidak dikenali sampai anak duduk di kelas 2 atau 3 SD.

Gangguan menulis, mengacu pada anak-anak dengan keterbatasan kemampuan menulis. Keterbatasan dapat muncul dalam bentuk kesalahan mengeja, tata bahasa, tanda baca, atau kesulitan dalam membentuk kalimat dan paragraf. Kesulitan menulis yang parah umumnya nampak pada usia 7 tahun.

Gangguan membaca, disleksia, mengacu pada anak yang memiliki keterampilan yang buruk dalam mengenali kata-kata dan memahami bacaan. Anak-anak yang mengalami disleksia membaca dengan lambat dan kesulitan dan mereka mengubah, menghilangkan, atau mengganti kata-kata ketika membaca dengan keras. Mereka kesulitan menguraikan huruf-huruf dan mengkombinasikannya serta mengalami kesulitan dalam menerjemahkan menjadi kata yang tepat. Lebih banyak anak laki-laki yang memperoleh diagnosis gangguan membaca daripada anak perempuan, tetapi perbedaan ini mungkin lebih disebabkan oleh adanya bias dalam mengidentifikasi gangguan terhadap anak laki-laki daripada oleh perbedaan gender. Anak laki-laki yang disleksia cenderung lebih sering menunjukkan perilaku mengganggu di kelas daripada anak permpuan, sehingga lebih besar kemungkinannya untuk menjalani evaluasi.

Di buku Nevid dkk ini juga menyebutkan bahwa banyak hipotesis tentang penyebab gangguan belajar, diantaranya adanya masalah dengan auditorinya, persepsi visualnya, sensori dan perabaan sehingga menimbulkan gejala gangguan belajar.

Disini, saya mengaitkannya dengan masalah yang saya hadapi, dan saya beranggapan bahwa murid saya itu mengalami gangguan belajar tipe matematika, karena jika menulis dia masih bisa walupun lama dan membaca nya juga cukup baik. Namun, saya juga belum berani mengejudge, masih banyak yang harus saya cari tahu lagi.

Nah, disini saya juga akan memberitahukan kepada pembaca bagaimana intervensi yang telah saya baca dan akan saya terapkan.

1.Model Psikoedukasi. Pendekatan psikoedukasi menekankan pada kekuatan-kekuatan dan prefensi-prefensi anak daripada usaha untuk mengoreksi defisiensi yang di duga mendasarinya. Misalnya, seorang anak yang menyimpan informasi auditori lebih baik dibanding visual akan diajar secara verbal, misalnya menggunakan rekaman dan bukan materi-materi berupa visual.

2.Model Behavioral. Mengasumsikan bahwa belajar akademik diabangun atas hierarki keterampilan-keterampilan dasar atau perilaku yang memampukan. Untuk dapat membaca secara efketif, seseorang harus belajar mengenali huruf-huruf , menghubungkan suara dengan huruf, kemudian mengkombinasikan huruf-huruf dengan suara-suara menjadi kata-kata, dan seterusnya.

3.Model Medis. Model ini mengasumsikan bahwa gangguan belajar merupakan simtom-simtom dari defisiensi dalam pengolahan kognitif yang memiliki dasar biologis. Penanganan harus diarahkan pada patologi yang mendasarinya dan bukan pada ketidakmampuan belajar. Bila anak memiliki kerusakan visual yang menyebabkannya kesulitan untuk mengikuti sebaris teks., penangannannya seharusnya ditujukan untuk mengatasi defisit visual, mungkin dengan cara latihan mengikuti stimulus visual. Selanjutnya peningkatan kemampuan membaca diharapkan terjadi.

4.Model Neuropsikologi. Pendekatan ini berasal dari model psikoedukasi dan medis. Diasumsikan bahwa gangguan belajar merefleksikan defisit dalam pengolahan informasi yang memiliki dasar biologis.

5.Model Linguistik. Pendekatan ini berfokus pada defisiensi dasar dalam bahasa anak, seperti kegagalan untuk mengenali bagaimana suara-suara dan kata-kata saling dikaitkan untuk menciptakan arti, yang akan menimbulkan masalah dalam membaca, mengeja dan menemukan kata-kata. Model ini mengajarkan keterampilan secara bertahap, membantu murid menangkap struktur dan menggunakan kata-kata.

6.Model kognitif. Model ini berfokus pada bagaimana anak-anak mengatur pemikiran-pemikiran mereka ketika mereka belajar materi-materi akademik. Disini, anak-anak dibantu untuk belajar dengan, (1) Mengenali sifat dari tugas belajar, (2) Menerapkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif untuk menyelesaikan tugas-tugas, (3) Memonitor kesuksesan strategi-strategi mereka.

Setelah mengetahui intevensinya, sekarang bisa kita lihat intervensi mana yang menurut anda lebih efektif untuk menangani anak-anak dengan gangguan belajar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun