Hari itu seperti hari kemarin kemarin. Tidak ada kamu. Belum mengenalmu. Aku datang ke kota ini dengan sebongkah batu yang ku bawa kemana-mana, di atas pundakku. Tentunya, bukan benar-benar batu. Tapi batu permasalahan, kesedihan, kesepian, penyesalan dan pengharapan untuk kehidupanku yang lebih baik. Untuk kehidupan yang telah aku tinggalkan di belakangku.
Kita datang dengan cara yang biasa. Bukan disertai hujan petir atau angin yang dahsyat. Kita datang di hari yang biasa, dimana segala kemungkinan bisa terjadi. Mulai dari kemungkinan yang paling besar sampai yang paling kecil, yang tak pernah terpikirkan olehmu atau bahkan olehku, sebagai pemilik cerita ini. Kemungkinan terbesar kita bertemu, berkenalan dan lalu semua hilang tertinggal di belakang. Tidak ada apa-apa. Hanya sekedar mengingat wajah dan nama. Tidak ada cerita, hanya pemeran figuran dalam sepenggal kisahmu, dan kisahku. Tidak penting, tidak perlu diingat. Nothing spesial.
Hampir sama besarnya dengan kemungkinan yang kedua : kita bertemu, berkenalan dan tidak ada yang hilang tertinggal di belakang. Namamu, wajahmu, senyummu, caramu melihatku, semuanya tiba-tiba tidak menjadi biasa-biasa saja. Ada yang berbeda. Ada keinginan-keinginan, pengharapan dan kasih sayang. Aku tidak bisa lagi menyebut namamu tanpa merasakan getar-getar aneh yang menjalar sampai ke pipi-pipiku. Hangat. Aku tidak bisa lagi mengingat wajahmu tanpa membayangkan betapa bahagianya aku bisa sedekat itu denganmu. menciummu, merasakan hangatnya bibirmu di bibirku. Tanpa merasa bersemangat, bergairah. Tentu saja aku hanya membayangkan saat-saat itu. Kita punya cerita, punya kisah dan alur. Naik dan turun, ada yang bahagia tentu saja ada yang sedih. Tapi semua tidak hilang, kau masih ada di saat-saat terburukku dan menggenggam tanganku. Kau bahkan ada di saat aku harus pergi jauh darimu, walau kau hanya berdiri, diam dan mematung. Seperti tak ingin pisah. Saat dimana kau tidak bisa menggenggam tanganku, bukan karena jarak, tapi karena keadaan.
Tahun 2005 adalah milikku. Aku memujamu dengan cara yang aneh. Kebanyakan dari rasa 'keakuanku' dan angkuhku. Kita berteman, saling tertawa, tapi aku menginginkan ada yang lebih dari sekedar itu. Keinginan yang selalu aku hindari. Aku tolak dan aku simpan rapi di dalam hati. Kamu adalah pengharapanku dari kehidupan yang aku tinggalkan di belakang. Bersamamu begitu menyenangkan. Kau selalu ada setiap aku membutuhkanmu, tapi dengan cara yang universal. Karena kita tidak hanya berdua. Kita berteman satu dengan yang lain, aku dan kamu, hanya 2 orang dari beberapa orang yang terlibat di dalam kisah kita. Semuanya memberi warna.
Memberi warna kuning, ketika kita sama-sama berbagi cerita gembira. Berjalan bersama-sama menyusuri jalan dari tempat kos ke pasar pagi yang lumayan jauh jaraknya. Tapi aku tidak merasa lelah. Karena aku senang menghabiskan waktu bersamamu.
Memberi warna biru, saat aku begitu sedih dan kesepian. Melihatmu dari jauh, kau tertawa sendiri, tidak bersamaku. Kau terlihat ceria dengan handphone di telingamu. Aku selalu membayangkan siapa gadis beruntung di sebelah sana, yang bisa membuatmu tertawa begitu lepas. Yang menyiratkan indahnya kerinduan-kerinduan di wajahmu yang tertimpa cahaya matahari yang baru saja terbit. Berarti ada seseorang bersamamu, di dalam hatimu. Bukan aku, tidak akan pernah aku. Begitupun aku, diantara ketidakpastian-ketidak pastian yang ada, aku juga bersama seseorang. Tapi entah kenapa aku begitu sedih membayangkan bahwa kita tidak akan pernah punya cerita yang bagus tentang hati dan perasaan.
Namun warna yang paling ku ingat adalah warna merah, entah aku harus sedih atau gembira. Aku mengajakmu untuk menikah di suatu sore yang aneh. Ya ,,,aneh. Sama seperti keberanianku yang tiba-tiba mengajakmu melakukan sesuatu yang aneh. Menikah. Aku tidak pernah tahu bagaimana menikah itu, kecuali yang telah diajarkan oleh kedua orang tuaku adalah mengenai perpisahan. Tapi entahlah,. Sore itu aku melihatmu memakai sepatu entah akan kemana. Aku hanya berdiri dan tiba-tiba merasa ingin ikut kemanapun kau pergi. Perasaan yang begitu kuat sampai-sampai aku ingin menangis pada saat itu. tidak ingin kau pergi. Seperti ingin terikat denganmu. Seperti ingin searah-sejalan bersamamu.Dan aku harus benar-benar menangis saat kau hanya tersenyum dan meninggalkanku.
Entah aku harus sedih atau gembira. yang jelas aku tidak pulang malam itu. Aku ingin pergi sejauh mungkin darimu. Mungkin karena malu, entahlah. Aku hanya tidak ingin lagi melihatmu tanpa ada rasa ingin memilikimu. Sesuatu yang aneh sampai saat ini masih aku rasakan.
Putih.
Akhirnya hanya warna putih yang bisa menghapus semua warna itu. Karena aku bersyukur hari ini masih bisa melihatmu tertawa, tersenyum, sedih ataupun marah. Melihat mood-mu turun dan naik. Melihatmu terdiam, serius dengan gadget atau komputermu. Aku menyukai semua itu. tapi hanya dalam hati. Silent. Because you, D for Silent.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H