Liburan telah tiba. Dan janjiku ditagih oleh kedua anak lelakiku.
“Ayah, jadi dong kita bikin layang-layang sekarang !” ujar Qie dengan mata berbinar.
“Oke. Siapkan bahannya, ayah akan ambil alat,” jawabku singkat sekaligus memberi perintah kepadanya.
Mat, yang berdiri di sebelahnya segera berlari ke belakang. Kemudian diikuti oleh kakaknya Qie.
Aku tersenyum melihat mereka berdua. Ada rasa bangga terbesit melihat mereka sedang tumbuh. Masa yang takkan kulewati untuk menikmatinya.
“Nah, kita harus meraut bambu ini hingga imbang. Untuk bagian sayap.”
“Kenapa harus imbang, yah ?” tanya si kecil Mat.
“Agar layang-layang kita nanti bisa terbang dengan mudah ke langit. Dan saat diterpa angin, dia tetap tenang melayang. Jika sedikit saja tak imbang, layang-layang kita akan terbang kesana kemari dan kita akan susah mengendalikannya.”
Qie meraut bambu dengan telaten. Sedangkan adiknya hanya melihat karena belum mampu menggunakan pisau dengan hati-hati.
Segera setelah selesai meraut bambu, aku ajarkan kepada mereka merakit dan menyelesaikan layang-layang kami. Secara detail aku berikan cara memilih bambu dan cara meraut, memilih kertas, benang, dan ukuran yang harus mereka perhatikan.
Kini kami bertiga berada di tanah lapang. Layang-layang kami telah menari-nari di angkasa. Sejenak aku sisakan waktuku untuk melihat mereka berdua bermain dengan layang-layang mereka. Lain kali, mungkin tak ada waktu lagi bagiku. Untuk melihat mereka berdua bermain-main seperti saat ini.
“Ayah, besok kita bikin layang-layang yang lebih gede, ya ?” Mat memohon kepadaku sambil sudut matanya mengerling ke arah Qie.
“Boleh,” jawabku. “Tapi tentu saja, untuk layang-layang yang lebih besar, kita perlu tali yang lebih kuat. Agar layang-layang kita tidak terlepas dibawa oleh angin.”
Gunungkidul, 16 Desember 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H