Lagi dan lagi. Setitik pulse menghentak terbang ke langit. Menyeruak ke relung-relung sisi awan hitam pekat. Bercinta dengan butiran-butiran embun padat.
71w4 yang ada tak lagi ada. Sekeras baja. Dan mudah patah pula seperti baja. Tak bisa bengkok sedikitpun. Rela tinggalkan serpihan tajam. Kaki terayun berdarah-darah.
“Ahhh.......,” aku berguman sendiri di pagi ini.
Kemarin pagi, masih ada teman temani aku. “Gimana kabarnya, masbro?” Inilah tanya terkhir kepadaku, sambil dia berjalan melewati aku yang sedang nongkrong di teras. Tujuh detik sesudahnya, 71w4nya melayang di jalan depan rumahku. Sebuah bus antar kota menghantarkannya ke alam yang belum pernah kuraba. Aku yakin, dia tidak dengar jawabku atas pertanyaannya. Belum sempat terucap.
Jantung ini berdetak dengan terburu. Seharusnya tidak. 71w4ku yang membuatnya bekerja di luar kewajaran. Tiap kali dengar sapaan masbro.
Telingaku membuat 71w4ku 54k17. Jika tak dengar sapa dia, jantungku berlari sekuat kuda troya. Seperti biasanya. Ahh... andainya aku tuli !
71w4ku selalu 54k17. Saat bayang dia masuk ke retina. Seharusnya tidak. Matakupun membuat 71w4ku 54k17. Geram terasa di seluruh kulit wajahku. Sumpah serapah tertumpah. Kenapa tidak buta !
Aku hempaskan badanku di kursi rotan reyot. Bersama 71w4 54k17. Menelusuri lautan luas. Mengaduk endapan lumpur bau anyir darah anak-anakku dan istriku.
Gunungkidul, 21 November 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H