Siang ini bapakku tak bisa menemani kami makan siang. Hanya kami berdua. Aku dan ibuku. Duduk di sehelai tikar dekat dapur di bagian belakang rumah. Sebuah ruangan yang aku rindukan. Yang hanya tujuh kali bisa aku lihat kembali sejak kepergianku sembilas belas tahun yang lalu. Dua orang temanku duduk di ruang sebelah. Teman yang menemaniku dalam perjalanan pulang kampung.
Anakku, ibu merasa sudah tak ada lagi yang harus aku nasihatkan kepadamu. Kau telah dewasa dan mapan menurut ibu. Kali ini ibu hanya titip pesan untukmu. Agar kau jaga kedua adikmu setelah ibu dan ayahmu berangkat menghadap yang maha kuasa.
Anakku, janganlah engkau tiru saudara-saudaramu yang lain. Baik dari pihak ibu maupun pihak bapakmu. Tentang harta yang mau tidak mau akan kami tinggalkan. Janganlah berebutatau saling iri hati. Bapakmu telah menimbang dengan ukurannya sendiri. Kau dan kedua adikmu ibu harap memahami. Kepada siapa kami memberi, kalian tak boleh membantahnya. Dengan begitu ibu dan bapak kalian akan merasa bahagia. Ya, hanya rasa itulah yang sebenarnya kami inginkan.
Anakku, engkau telah merasakan kerasnya kehidupan. Ibu tak pantas lagi beri nasihat seperti saat engkau masih di pangkuan. Saat engkau masih suka lari di pematang sawah dan jatuh ke lumpur. Masa itu sudah terlewat. Untuk dirimu, ibumu hanya bisa membayangkan dari sini bagaimana keadaanmu di sana. Tempat tinggalmu saat ini. Bersama istrimu dan kedua cucuku. Ibu tak bisa mendampingimu tiap saat. Tiap kali engkau meniti hidup hari demi hari. Hingga ibu tak tahu apa yang harus ibu nasihatkan kepadamu.
Anakku, rumah dan tanah ini janganlah dijual. Harta ini adalah perjuangan kami selama hidup. Akan kami jadikan simpanan kelak. Agar kami berdua bisa mendapatkan manfaatnya. Berikanlah kepada badan wakaf atau pesantren di desa seberang. Untuk itu kami berdua akan menikmati hasil selamanya.
Anakku, ibu takkan merasa lelah berdoa untukmu. Walau raga telah payah. Namun jiwa ibu akan selalu hidup untukmu. Untuk kedua adikmu. Untuk para cucu-cucuku. Do’a ibumu sepanjang hayat inilah yang bisa ibu lakukan. Ibu tak harapkan balasan. Karena rahmat selalu ibu dapatkan tiap saat. Bahkan bertambah saat kalian bertiga aku lahirkan dengan ikhlas.
Anakku, jagalah pesan dari bapakmu tiap saat engkau melangkahkan kaki. Ingatkan pula kedua adikmu. Pesan yang akan bermanfaat bagimu sendiri. Kemudian untuk keluargamu. Ingatlah, yang wajib engkau jaga hanyalah dirimu sendiri. Bukan orang lain. Bahkan keluargamu, darah dagingmu sendiri.
Anakku, setelah selesai engkau makan kali ini, temui bapakmu sebelum pamitan. Ada yang ingin bapakmu sampaikan. Simaklah baik-baik. Jangan membantah sekalipun. Bahkan mendesah jangan engkau lakukan.
Aku segera selesaikan makan dengan cepat. Seirama keinginanku segera menemui bapak. Di kamar. Di pembaringan. Ya, bapakku sudah tak kuasa gerakkan raga. Tak lagi bisa menjewerku lagi dengan tangannya yang keriput. Dalam batin aku ingin bisa tegar. Setegar gunung menjaga bumi.
Gunungkidul, enam mei duaribu sebelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H