Perbedaan visi antara kelompok Islam fundamentalis yang berusaha mengubah arah politik hingga mengubah bentuk negara dan kelompok Islam nasionalis yang berusaha menegakkan nilai etika-moral agama tanpa mengubah falsafah bangsa menunjukkan jalan terjal gerakan radikal Islam. Resistensi terhadap gerakan radikal semakin mencuat ketika banyak kelompok islam lain justru kontra terhadap radikalisme atau khilafah itu sendiri. Anggapan bahwa Islam dapat ditegakkan melalui proses gerakan sosial tanpa harus mengoperasionalkan khilafah justru mereduksi gerakan sosial oleh para Islam fundamentalis. Namun demikian, kemunduran Islamisme justru dibarengi dengan kemunduran demokrasi itu sendiri, yang mana menjadi tantangan bagi gerakan sosial Islam nasionalis lainnya dalam mengembangkan pengaruhnya.
ISLAM DI PERMUKAAN
Ruang demokrasi hadir untuk menghadirkan kepentingan publik. Namun, representasi demokrasi secara formal (melalui wakil rakyat) dianggap kurang efektif. Pergerakan Islam dirasa kurang holistik dan mendalam, bahkan ketika nilai sakral agama masuk ke dalam politik. Partai-partai yang terafiliasi dengan Islam seperti PAN, PKB, dan PPP kurang mendapatkan perhatian karena terdominasi oleh partai-partai nasionalis murni sehingga pengembangan nilai islam melalui jalur politik merupakan jalan buntu, padahal narasi Islam fundamental atau kekhilafahan sudah dianggap mati. Islam seakan tenggelam dalam demokrasi itu sendiri, yang sudah keruh dengan kepentingan politik sehingga saluran representatif tidak berfungsi.
Gerakan sosial Islam baru muncul seiring perubahan kondisi masyarakat (Prasisko, 2016). Saluran representasi baru kemudian muncul sebagai alternatif ruang publik yang mampu menyuarakan nilai Islam tanpa depresiasi yang berarti. Saluran yang baru hadir bersamaan ketika terjadi penetrasi internet yang kemudian mengilhami terjadinya transformasi digital dalam gerakan sosial. Seberapa besar umat Islam dalam memanfaatkan teknologi digital seringkali dapat ditafsirkan sebagai tingkatan pengaruh Islam pada masyarakat luas. Bagi beberapa kelompok Islam, aktivisme ataupun transaksi digital samgat berarti dalam melaksanakan pergerakan sosial.
Terlepas dari motif gerakan, gerakan sosial Islam yang memanfaatkan digitalisasi saluran publik terbukti memberikan pengaruh yang signifikan, baik secara moral maupun politik (Anwar 2019). Sebut saja Aksi Bela Islam yang dimotori  GNPF MUI, FPI, hingga FUI. Aksi ini diawali dengan perbincangan di media sosial terkait penistaan ayat suci Alquran yang menimbulkan kemarahan berbagai kalangan. Aksi ini kemudian berlangsung sebanyak tujuh rangkaian, mulai dari 14 Oktober 2016 hingga 5 Mei 2017 dan diikuti ratusan ribu massa disetiap rangkaiannya yang menunjukkan aktivisme yang begitu masif terinisiasi melalui saluran digital. Tak hanya Aksi Bela Islam, pergerakan Islam yang berjalan secara organik menyebarkan tata nilai, tradisi dan kebudayaan, hingga dakwah keagamaan juga dipraktikkan oleh berbagai kelompok Islam, termasuk Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (Anwar, 2019). Aktivisme Islam yang ditunjukkan oleh berbagai kelompok dan organisasi Islam secara nyata mennjukkan efektivitas tinggi gerakan sosial Islam berbasis digital.
Apabila demokrasi mengalami kemunduran, maka pergerakan Islam akan mengalami hal yang sama. Tantangan gerakan sosial politik secara umum pada akhirnya juga akan menghambat nilai-nilai Islam yang diperjuangkan terhambat muncul ke permukaan. Hambatan dalam gerakan sosial politik antara lain:
- Inkonsistensi aturan
Keberadaan UU ITE diharapkan mampu menjaga tata nilai berekspresi dalam ruang digital. Namun, pada praktiknya pasal karet yang tertuang dalam aturan legal malah menjadi senjata melakukan pembungkaman aspirasi publik
- Kurangnya minat pada tata nilai Islam
Suka tidak suka, minat masyarakat dalam menonsumsi informasi tentang agama, khususnya Islam mulai terdegradasi akibat kurangnya atensi generasi muda yang cenderung lebih menerima budaya yang bertentangan dengan nilai Islam
- Posisi Islam dalam politik
Islam dalam politik paling tidak hanya terwakilkan oleh beberapa partai Islam, seperti PPP, PKB, dan PAN. Ketiga partai tersebut pun tidak signifikan dalam perolehan kursi legislatif, yang menunjukkan aktivisme Islam secara politik belum menjadi urgensi
- Titik jenuh dalam demokrasi
Demokrasi memunculkan berbagai presepsi. Generasi muda tidak hanya dihadapkan dengan isu atau informasi agama, tetapi juga isu lain seperti feminisme, liberalisme, isu rasial, konservasi lingkungan, hingga politik itu sendiri. Initentu akan mengalihkan fokus para aktor di ruang digital secara signifikan.
- Kebebasan diluar batas
Dalam  konteks  demokratisasi  Indonesia, media  sosial  memiliki  efek  ideologis  yang kontradiktif. Di satu sisi, media sosial dapat menajdi sarana mediasi aspirasi dan kritik warga. Namun di sisi lain, media sosial tidak jarang kita jumpai menjadi keranjang sampah untuk menyebar kebencian,  sikap  sektarianistik,  isu hoaks,  dan  fitnah yang justru menciderai nilai pluralistik negara Indonesia.