Sedih? Tentu saja sedih. Jakarta adalah kota tempat saya dilahirkan, rumah kecil kami adalah saksi bisu saya dan kedua kakak saya tumbuh dengan baik berkat kedua orang tua kami.Â
Hari-hari yang dilewati selama kurang lebih dua puluh tahun di Jakarta penuh dengan banyak emosi yang tercampur, sedih, senang, haru. Semakin waktu berlalu, semakin sedih kami akan meninggalkan Jakarta, apalagi Ibu yang sudah puluhan tahun disini, sedari beliau lahir juga.
Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, begitu katanya. Tapi sampai sekarang saya masih belum tahu harus mengucapkan selamat tinggal bagaimana dengan Jakarta, saya juga masih memikirkan bagaimana harus berpamitan dengan teman terdekat saya di Jakarta, yah meskipun saya tidak punya banyak teman, sih, hanya satu-dua tapi berharga.
Di Jakarta saya tumbuh, membangun mimpi-mimpi, menggali bakat yang tersembunyi, mengukir banyak kenangan. Kata Bapak, ini hanya soal pindah tempat tinggal saja, tapi bagi saya tidak sesederhana itu, meskipun perasaan saya ini terlalu rumit untuk dijelaskan. Walau begitu waktu akan terus berjalan, masa depan masih panjang dan saya pasti masih bisa menikmati Jakarta jika suatu saat datang untuk berlibur.
"Untuk sementara, mari kita habiskan waktu untuk mengukir banyak kenangan di Jakarta yang indah ini." Begitulah kalimat yang saya ucapkan untuk diri saya sendiri sebelum benar-benar mengucapkan 'selamat tinggal' untuk Jakarta.