Mohon tunggu...
Byatie Tjoa
Byatie Tjoa Mohon Tunggu... -

Seorang yang sedang belajar untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kata Devan, "Santai Aja Lagi."

11 Desember 2013   18:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:03 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendapat undangan reuni membuatku tidak bisa tenang seharian ini, semua yang aku kerjakan sukses berantakan. Mataku memandang bergantian antara undangan dan layar ponsel. “Kenapa harus sekarang?” gumamku sambil menghela nafas panjang berulangkali.

“Woi.. ngapain?” tiba-tiba Devan datang mengejutkanku. Sontak aku melotot dan berbisik agar ia pergi dari mejaku. “Bilang apa sih, nggak kedengaran nih!” ucap Devan keras membuat beberapa orang menoleh ke arah kami. “Ssssssttt berisik! Berapa kali aku bilang, kalau di kantor kita nggak saling kenal!” bisikku lagi sambil menggerakkan tangan mengusirnya menjauh dari mejaku. Devan hanya mengangkat kedua bahunya dan pergi berjalan santai sambil sesekali tersenyum pada beberapa cewek yang dilewatinya. Dasar playboy!

Kembali ke pokok masalah, jadi harus bagaimana sekarang. Mana mungkin aku datang ke acara reuni tanpa pacar, dan nggak mungkin pula aku tidak datang. Aaah seandainya Devin bisa dibelah dua, “Kenapa juga sih harus keluar kota,” gerutuku pada layar ponsel.

Hei, tentu saja bisa. Pacarku bisa dibelah dua. Kenapa tidak, belum dicoba, aku yakin dia pasti akan setuju. Senyumku melebar dan kegalauan yang sejak tadi melanda kini sudah pasti terselesaikan. Dengan cepat aku mengambil ponselku, menuliskan beberapa kalimat merajuk, dan belum sampai lima menit, sudah ada balasan. Yes! Semua beres akhirnya.

***

“Devan ingat ya jangan tebar pesona, hari ini statusmu pacar Jogie, ingat itu! Jangan bikin malu, oke!” ucapku serius yang malah ditanggapi dengan cengiran menyebalkan. Beberapa langkah berjalan bersama, aku menoleh kembali pada Devan mengingatkan sekali lagi dengan wajah mengancam.

“Iya..iya, tenang aja. Santai dong,” ucapnya ringan dan mengangkat lengannya ke arahku. “Apa-apaan nih!” aku menepuk lengannya agar diturunkan. Siapa juga yang mau digandeng sama playboy kayak Devan.

Bete. Kalau bukan karena wajib datang ke acara ini, aku pasti malas banget pergi berduaan sama Devan. Ya, meskipun mereka sama persis baik struktur wajah dan tubuhnya tetapi kelakuannya jelas sangat jauh berbeda.

“Hei bengong aja, tuh teman-temanmu melambai-lambai sejak tadi.” Aku menoleh dan dari kejauhan aku mendapati Ella, Okie dan Tia sedang melambai-lambai dengan semangat ke arahku. Senyumku mengembang sempurna, tanpa aba-aba aku langsung beranjak meninggalkan Devan, tetapi sebelum jauh, sekali lagi aku menoleh dan mengancam “Awas ya, jangan macam-macam!” ucapku sambil mengacungkan telujuk dengan mata melotot.

Aku bersiap berjalan menghampiri mereka dan kembali memasang senyum termanisku. “Haai…” sapaku melambai pada mereka.

Ella, ia sahabat terdekatku ketika jaman SMU dulu. Usianya satu tahun lebih tua dariku. Tubuh gempalnya tidak berubah, hanya sekarang wajah polosnya penuh dengan riasan tebal. Okie, ia anak tomboi yang suka banget main basket. Membuat tubuhnya menjadi tinggi dan super slim. Rambut pendeknya dulu sudah hilang, kini ia terlihat lebih feminin dengan rambut lurusnya yang terurai panjang. Dan si cantik Tia, idolaku. Sejak SMU dulu, ia bukan hanya idolaku tetapi primadona sekolah. Ia tidak berubah sama sekali tetap cantik tanpa riasan.

Aku tertawa kecil ketika kami saling berhadapan. “Apa kabarnya kalian semua?” tanyaku pada mereka. “Kangeeeen…” teriakku dan memeluk mereka bersamaan.

“Heheheh.. kamu tidak berubah ya,” ucap Ella.

“Iya, sadar dong sudah bukan anak SMU lagi nih,” Okie menambahkan.

“Dia mana inget sih, liat aja gayanya,” Tia pun ikut-ikutan mengodaku.

“Iiih kalian ya, curaaaang.. tiga lawan satu!” ucapku pura-pura cemberut. Lalu kami tertawa bersamaan.

“Aaaah.. sudah-sudah cukup!” ucap Ella. “yuk, kita duduk di sana.”

“Iya, perutku kram nih,” Okie memegang perutnya.

“Ternyata kita sudah tua yaa..” ucap Tia polos yang langsung diserbu dengan celaan dari kami semua.

“Datang sama siapa Jo?” tanya Okie.

“Sama pacar dong!” ucapku bangga. “Kalau kalian?” tanyaku balik.

“Hmm kalau aku bawa suami dan anak,” jawab Tia malu-malu yang membuat kami serentak berteriak histeris.

“Beneran Ti?” tanyaku menyakinkan. Aku akui Tia memang cantik tetapi kalau sampai sudah menikah dan punya anak itu jelas luar biasa, karena artinya ia pasti melepas pekerjaannya sebagai model. “Iya Jo, mau dua malah nih,” jawab Tia mengelus perutnya.

“Waaaaaa, hebat yaa. Kalau kamu La?”

“Aku masih jomblo nih nggak ada yang mau, kenalin dong,” jawab Ella merajuk. Aku tersenyum memandangnya. Mana mungkin tidak ada yang mau, pasti ia yang pemilih atau justru pada takut sama jabatannya.

“Kalau aku sudah tunangan, lihat!” ucap Okie tiba-tiba sambil memamerkan cincin perak yang ada di jari manisnya. “Dan tahu nggak berapa umur tunanganku?” tanyanya lagi, ia tersenyum penuh arti, dan kami serentak menggeleng bersamaan. “25 tahun,” bisiknya. Mendengar itu jelas bukan hanya aku yang terkejut, Kami sesaat terdiam dengan pikiran masing-masing-hening.

“HAHAHAHA… hebaat kamu!” teriak Ella sambil mengacungkan kedua ibu jarinya, aku dan Tia juga jadi ikutan mengangkat kedua ibu jari, dan kembali tertawa terbahak.

“Waah ternyata kalian hebat-hebat ya, berarti hanya aku aja nih yang biasa banget,” ucapku minder. “Aaah jangan begitu Jo, kamu malah lebih hebat. Ingat nggak saat SMU kamu selalu juara kelas, kuliah juga gratis dapat beasiswa,” jawab Ella.

“Betul itu, sekarang aja tambah cantik nih tanpa kacamata tebalmu itu,” Tia menambahkan.

Aku mengakui semua itu memang pernah terjadi dulu, tetapi kini aku hanya karyawan biasa di sebuah perusahaan tour and travel. Tidak ada yang istimewa.

“Eh-eh lihat tuh, itu si Mila kan? lagi deketin siapa tuh?” ucap Ella membuat kami menoleh bersama. “Loh itu bukannya pacar kamu Jo?” tanya Okie.

Aku memperhatikan lebih seksama. Dan ternyata benar saja kalau ternyata cowok yang didekati oleh Mila memang si Devan. “Aah benar-benar sial, kenapa sih harus Devan!” gerutuku dalam hati.

Buru-buru aku beranjak dan berjalan cepat menghampiri Devan dan Mila. Tanganku dengan cepat menghempas tangan Mila yang mulai ‘nakal” memegang pundak Devan.

“Maaf ya, ini pacarku!” ucapku tegas.

“Ooh.. eh kamu ini bukannya Jogie ya, anak yang kutu buku itu bukan? Eh hebat juga, nggak sangka bisa punya pacar cakep begini!” jawab Mila santai dan mulai mendekat lagi pada Devan, bahkan kini tangannya hendak menyentuh pipi Devan.

“Hei! Kamu budeg ya nggak dengar ucapan Jogie!” bentak Ella.

Mila menoleh, “Eh kamu La, kenapa mau belain?? Ho ho ho bawa pasukan segala nih,” jawab Mila menatap dan berjalan mendekat pada mereka.

“Mila cukup!” bentakku. “Kita bukan anak SMU lagi, kamu mau merusak acara reuni kita hari ini!”

Mila kembali berbalik dan matanya melebar padaku, aku yakin ia pasti terkejut. “Waaa..waah ternyata kamu sekarang sudah banyak berubah ya, lebih berani. Hmm oke-oke, aku bukan perusak suasana jadi kita akhiri saja ya.” Mila berjalan mendekat kembali menghampiri Devan yang sejak tadi hanya diam mematung. “Bye cowok ganteng, kalau sudah bosan sama si kutu buku ini, jangan lupa cari aku ya,” goda Mila sambil mengedipkan salah satu matanya dan berjalan pergi meninggalkan kami.

Aku menghela nafas panjang, tanpa terasa jantung dan tanganku bergetar.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Tia. “Sudah Jo, ucapan Mila jangan didengerin.”

“Dia benar-benar nggak berubah ya!” ucap Okie sewot.

“Iya aku baik-baik saja, maaf aku permisi sebentar ya.”

Aku menghampiri Devan dan menarik tangannya menjauh dari kerumunan, berjalan keluar menuju tempat parkir. Pikiran dan hatiku bercampur aduk rasanya, kenapa kejadian seperti ini harus terjadi di depan teman-temanku, apa kata mereka kalau ternyata pacarku hanya seorang playboy yang begitu mudah digoda oleh perempuan cantik dan percaya diri seperti Mila. Keputusanku membawa Devan kesini memang hanya sebuah kekeliruan.

Begitu kami sampai tepat di samping mobil, aku berbalik dan menatap tajam pada Devan. “Hei, apa sih yang kamu pikirkan! Aku kan sudah bilang malam ini kamu itu pacarku jadi bersikaplah lebih baik. Ini bukan di kantor atau di rumah yang bisa seenaknya kamu tebar pesona ke mana-mana. DENGAR NGGAK?!” teriakku emosi. “Dan..dan kenapa juga harus Mila! Emang didalam sana nggak ada cewek lain apa? Kamu itu memang beda dengan Devin ya, sukanya selalu buat masalah!”

“Iya-iya maaf deh. Lagian bukan aku kok yang mulai. Dia aja yang menghampiri, mungkin karena aku ganteng kali,” ucapnya tersenyum simpul.

“Yee malah senyum-senyum, nggak lucu tahu!” jawabku cemberut.

“Udahlah, jangan marah-marah terus. Tanganku sakit nih!!” Devan mengangkat tangannya yang ternyata sejak tadi masih erat aku genggam.

“Eh..” buru-buru aku melepasnya, wajahku seketika memanas.

“Jadi bagaimana sekarang? Mau balik masuk atau pulang aja?” tanya Devan.

“Aaah nyebelin, terserah!” ucapku membuang muka.

“Pulang aja deh, sudah malam juga. Ayo!” Devan mematikan alarm dan masuk ke dalam mobil. Aku menurut, dan begitu duduk aku langsung membuka ponselku memberi kabar pada Ella, Okie dan Tia kalau aku baik-baik saja dan sekarang aku pulang dengan aman. Aku juga tidak lupa memberi kabar pada Devin, kalau acara reuninya berjalan dengan baik dan sekarang sedang dalam perjalanan pulang bersama Devan. Tanpa sadar aku tersenyum memandangi jawaban Devin di ponselku.

“Kamu itu kayak bunglon ya?” tanya Devan tiba-tiba.

“Apa?”

“Iya suka berubah-ubah, terus terang aku tadi kaget loh kamu bisa bersikap seperti tadi. ‘maaf ya ini pacarku!’ plash,” ucap Devan memperagakan ucapan dan gerakan tanganku yang menghempas tangan Mila. “keren..keren,” ucap Devan lagi mengacungkan ibu jarinya. “Biasanya kan aku selalu melihat kamu anggun, bicara ramah dan lemah lembut sama Kak Devin.”

Ucapan Devan membuat wajahku kembali memerah, mengingat betapa memalukannya tadi. Sekarang aku benar-benar sangat menyesal membawa Devan.

“Kak Devin harus tahu nih.”

“Eh JANGAN!!” teriakku membuat mobil oleng.

“Aduuh jangan tiba-tiba teriak dong, bahaya tahu!”

“Devan, please.. jangan cerita apa-apa tentang malam ini oke? Aku nggak mau buat Devin khawatir.”

“Heh..” Devan menatapku heran, lalu wajahnya berubah dan mulai tersenyum. “Kenapa? Takut yaa,” goda Devin.

“Nggak!” jawabku cepat.

“Terus kenapa aku nggak boleh cerita sama Kak Devin, tadi itu super keren loh!”

“Aaaah terserahlah! Kamu itu memang reseh!” ucapku kesal dan membanting tas ke pangkuanku.

“Oke-oke, tenang aja. Aku nggak akan cerita sama Kak Devin, dan tentang kamu pegang tanganku juga nggak akan aku ceritain kok, HaHahaha,” ucap Devan tertawa penuh kemenangan. Aku malas menjawab lagi, tidak akan menang kalau berdebat dengan Devan.

***

Malam ini aku akan janjian makan malam dengan Devin, aku sudah tidak sabar lagi, sejak pagi aku buru-buru berangkat kerja dan sepanjang hari kerjaku hanya menatap jam. Aah jantungku terus saja berdebar menanti pertemuan kami, hampir dua minggu kami tidak saling bertemu. Nanti malam aku pakai baju apa ya? apa aku juga harus ke salon. Aku kembali mengangkat tangan kananku, 3 jam lagi waktunya pulang.

Tiba-tiba aku dipanggil oleh Pak Alex ke dalam ruangannya. Ia menyodorkan sejumlah berkas berisi data klien yang akan ikut tur bulan depan. Aku harus memeriksa dan menyelesaikannya malam ini juga.

Dengan lunglai aku berjalan ke mejaku. Mana mungkin aku sempat ke salon, untuk ketemuan dengan Devin nanti malam saja belum tentu bisa.

Satu demi satu orang-orang mulai berdiri meninggalkan meja mereka. Masih ada beberapa berkas yang harus aku selesaikan, aku kembali menatap jamku.

“Belum pulang Jo?” Aku tidak mau menangapi Devan dulu, aku harus segera menyelesaikan ini semua. Devin pasti akan kecewa kalau aku membatalkan pertemuan malam ini. “Sibuk ya?” tanya Devan lagi, dan tidak lama kemudian ia berjalan pergi karena tidak ada jawaban dariku.

“Aaaaah..” gerutuku mengacak poni. “Ini mana mungkin selesai!” aku mengintip ke ruangan Pak Alex, berharap kalau ia sudah pulang sehingga aku bisa kabur. Tetapi ternyata, Pak Alex masih setia di ruangannya.

Aku mengambil ponselku, menekan tombol nomor dengan lemas. “Halo, Devin ya.. maaf ya sayang, kayaknya malam ini kita nggak bisa ketemuan. Aku masih di kantor, tadi Pak Alex tiba-tiba kasih kerjaan dan harus selesai hari ini juga.” Aku berusaha menjelaskan agar Devin tidak kecewa.

“Kamu kenapa Jo?” tanya Devan tiba-tiba dari belakangku. “Eh itu Kak Devin ya, sini aku mau ngomong.” belum sempat aku menghindar, Devan sudah berhasil merebut ponselku.

“Kak, mau janjian ketemu ya.. udah tunggu aja, sebentar lagi juga kelar nih. Nanti aku aja yang anterin. Oke-oke, udah tutup ya.” Devan menutup sambungan telepon dan mengembalikan padaku.

“Devan, apa-apaan sih!

“Udah jangan berisik! Satu jam juga selesai ini.” Devan mengambil sebagian berkas yang ada di mejaku dan mulai memeriksanya. “Eh jangan bengong, jadi mau kencan nggak?”

Aku mengalihkan pandangan dan mulai bekerja kembali. Sesekali aku melirik Devan yang begitu serius, baru kali ini aku lihat sosoknya yang berbeda. Devan yang aku kenal adalah pria sembrono, asal dan banyak tingkah. Apa selama ini aku salah ya, sosok sempurna Devin membuatku tidak bisa melihat jelas Devan yang sesungguhnya.

“Selesai!” ucap Devan semangat. “Sana kasih Pak Alex, aku panasin mobil dulu, kita ketemuan di depan ya. Tenang aja, Kak Devin pasti masih nungguin.”

Aku tersenyum dan berjalan ke ruangan Pak Alex. Setelah membereskan meja dan mengambil tas aku mulai berjalan keluar dan menemui Devan yang sudah siap di parkiran. Aku mengetuk kaca jendela mobilnya dari luar, “Van, sudah nggak usah dianterin. Aku juga mau pulang kok,” ucapku tersenyum.

“Loh kenapa? Udah ayo masuk, Kak Devin pasti masih nunggu. Lihat nih, baru jam 8 lewat,” ucap Devan memperlihatkan jam tangannya.

“Nggak mungkin Van, ia pasti sudah pulang. Mana mungkin Devin mau nunggu. Aku tahu persis sifatnya.” Tanpa menunggu jawaban dari Devan, aku melangkah menjauh untuk pergi mencari taksi dan ternyata ia malah keluar dari mobil dan menyusulku. “Oke-oke, nggak usah cemberut begitu. Ayo aku antar pulang,” ajak Devan. “Udah malam, nggak baik cewek malam-malam naik taksi sendirian,” ucap Devan menyakinkan.

Apa yang dikatakan Devan ada benarnya, akhirnya aku mengangguk setuju dan masuk ke dalam mobil.

“Yakin nih nggak mau aku anterin ketemu Kak Devin?”

“Udah deh, kamu perlu aku jawab berapa kali sih!” sejak awal aku duduk sampai sekarang sudah hampir lima kali Devan bertanya hal yang sama.

“Yaa kok marah-marah lagi, kamu ini memang beneran bunglon ya.”

“Jangan mulai lagi deh Van,”

“Lah emang betul, sama Kak Devin manisnya bukan main terus kemarin waktu reunian ketemu teman-temanmu, bisa juga ketawa-ketawa gitu. Tapi giliran sama aku yang ampuuun gualaknya bukan main,” ucap Devan dengan mimik yang lucu, sesekali ia memperagakan perubahan wajah dan sikapku antara ke Devin dan dirinya.

Aku hanya tertawa melihatnya.

“Tuh sekarang ketawa tanpa sebab, kamu ini bunglon atau agak ‘miring’ ya?” tanyanya serius membuatku ingin memukul, tapi tanganku berhenti. “Heheheh mau mukul? nih silakan, memang bisa mukul wajahnya Kak Devin?” ucap Devan tersenyum lebar dan menyodorkan wajahnya padaku. Aku mendesah kesal, semua yang aku katakan tadi tentang Devan kutarik kembali. Ia memang sembarangan dan banyak tingkah.

***

“Maaf ya Jo, aku harus keluar kota lagi. Mungkin baru minggu depan lagi kita bisa ketemuannya.” Aku mendesah berulangkali membaca pesan singkat dari Devin. Bagaimana ini, mau ketemuan aja kok susahnya bukan main, kalau dihitung-hitung kayaknya sudah hampir sebulan kami belum bertatap muka, ternyata kami memang sama-sama sibuk. Apa lebih baik aku kayak Tia aja ya, menikah dengan Devin lalu resign. Tetapi apa aku bisa?. Atau kayak Ella aja sekalian, serius meniti karir. Tetapi kalau itu membuat Devin terus kabur karena aku terlalu sibuk dan merasa ‘kalah’ dariku bagaimana?. Atau justru aku kayak Okie aja, putus dari Devin terus cari brondong. Jadi punya banyak waktu bersama pacar. Tetapi putus dari Devin? Ooh tidak.

Aku maunya bisa menikah dengan Devin, tetap bisa bekerja dan punya banyak waktu bersama Devin. Sederhana kan?

Aku menyusuri jalan dengan begitu banyak pertanyaan di kepalaku.

“Bengong terus, dihipnotis loh!” ucap Devan berjalan melewatiku. Aku menghentikan langkahku dan menatap punggung Devan yang menjauh.

Atau apa lebih enak hidup seperti Devan ya. Santai, tidak banyak pikiran. Buktinya dia baik-baik saja tuh sampai hari ini. Malah selalu terlihat ceria tanpa beban. “Haaaaa..” aku mendesah dan kembali berjalan.

“Hei, mau bareng nggak?” teriak Devan.

Aku terkejut, apaan lagi nih si Devan. Bosan aku berulangkali bilang kalau di kantor jangan sok akrab. Aku nggak mau orang-orang di kantor tahu kalau aku ini pacar Kakaknya, apa yang mereka pikirkan nanti, bisa-bisa disangka nepotisme lagi. Maka dengan gaya super cuek, aku tetap berjalan tanpa menoleh, dan ternyata ia malah menghampiriku. Si Devan ini sudah bosan hidup kayaknya.

“Ya? ada yang bisa aku bantu?” tanyaku dengan senyum manis berusaha menutupi kecurigaan orang-orang yang berjalan melewati kami.

“Hah?” jawab Devan dengan wajah bingung, “Ada yang bisa dibantu?” tanya Devan mengulangi pertanyaanku. “Ooh-Ooooh.. iya-iya. Aku perlu dibantu, bisa tolong ikut sebentar?” ucap Devan serius, memperlihatkan kalau ia mengerti maksudku.

“Baiklah, mari..” jawabku tersenyum dan mengikuti Devan berjalan.

Sesampainya kami di parkiran, ia membukakan pintu mobil dan mempersilahkan aku masuk. “Silakan Ibu Jogie, aku ada perlu sebentar saja,” ucap Devan tersenyum nakal, sedangkan aku tidak menjawabnya, hanya masuk dan bersiap mengeluarkan semua kekesalanku.

“Sudah puas Pak Devan membuat aku kesal hari ini?” ucapku tersenyum.

“Heh.. kamu kenapa Jo, kesurupan ya?”

“Berapa kali sih aku bilang! JANGAN SOK AKRAB KALAU DI KANTOR!” teriakku.

“Wow..wow, bisa pecah nih gendang telingaku,” jawab Devan menggosok kedua telinganya. “Iya sori, lain kali aku nggak akan sapa, ajak ngomong, apalagi ngajak kamu pulang bareng, suer deh!” Devan mengacungkan dua jarinya membentuk huruf V.

“Eh lagi kesal ya karena Kak Devin keluar kota lagi?” tanya Devan membuatku menoleh ke arahnya. “Sudahlah, tenang aja Kak Devin minggu depan juga pulang kok. Nggak usah terlalu dipikirkan, mending kayak aku ini aja. Santai kayak di pantai,” ucap Devan memamerkan sederetan gigi putihnya. Aku tercengang menatapnya, tetapi mau tidak mau aku jadi ikutan tersenyum, apalagi membayangkan wajah Devin dengan kata-kata seperti tadi, pasti lucu sekali.

“Van, bisa tolong aku nggak?” tanyaku dan Devan mengangguk setuju. “Lihat ke arahku dan tolong ucapkan, Jogie cantik tunggu aku ya, kita akan segera bertemu.”

“Heh kamu ini kenapa lagi? serius suruh aku ngomong begitu? Sadar Jo, kamu itu pacar Kakakku.”

“Udah ngomong aja, jangan banyak protes!” ucapku melotot.

“Iiih kok maksa, iya-iya dengar baik-baik nih.” Devan menarik nafas panjang, begitu juga aku. Sungguh, aku ingin melihat wajah Devin mengatakan kata-kata itu. Betapa aku merindukannya.

“Jogie tunggu aku ya, kita akan segera bertemu,” ucap Devan pelan, persis seperti Devin. Wajahnya, suaranya bahkan caranya bicara sama persis. Hampir saja aku memeluknya.

“Terima kasih,” jawabku pelan menatap matanya dan tersenyum. Tidak aku duga, wajah Devan memerah. “Eh kenapa mukamu merah? Inget ya, aku ini pacar Kakakmu!” ucapku memecahkan kecanggungan kami.

“Yee, pede amat,” jawab Devan yang sudah kembali seperti dirinya.

Aku tersenyum melihat wajahnya, ternyata menyenangkan juga bersama Devan.

“Van, mulai besok kamu boleh ajak aku bicara di kantor, kalau perlu anter jemput sekalian ya, lumayan irit ongkos,” ucapku tersenyum, membuat Devan menoleh dan memperlihatkan wajah bingungnya.

Yaa benar kata Devan, harusnya aku sedikit santai. Kenapa aku harus takut dan pusing sendiri memikirkan apa kata orang tentang aku. Bukankah seharusnya aku hanya fokus pada perasaanku sendiri, bukan pada hal-hal yang belum tentu terjadi.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun