Mohon tunggu...
Byatie Tjoa
Byatie Tjoa Mohon Tunggu... -

Seorang yang sedang belajar untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Baik-baik Saja

7 Februari 2014   12:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:04 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menatap undangan dengan sendu. Berusaha menahan air mata yang sebentar lagi siap mengalir deras. Sungguh, aku tidak menyangka undangan ini bisa sampai ke sini. Rasanya tidak mungkin, aku sudah melakukan berbagai macam cara dan alasan agar tidak seorangpun tahu keberadaanku, terutama dia, laki-laki yang telah menyakitiku.

Tanpa perlu dibuka, aku sudah tahu jelas dengan siapa dia menikah. Peristiwa satu tahun yang lalu tidak semudah itu dilupakan. Penghianatan seorang laki-laki bernama Billy.

“Sen, maaf.”

“Kenapa?” aku menatapnya tanpa berkedip.

“Maaf,” ucapnya menunduk tanpa penjelasan apapun.

“Aku butuh alasan.”

Tetapi sampai kami berpisah, Billy tetap bertahan. Hanya kata maaf saja yang keluar dari mulutnya. Malam itu, ingin sekali rasanya aku memukul keras wajahnya atau setidaknya menuangkan segelas air di atas kepalanya, tetapi aku tahu, jelas-jelas aku tahu, apapun yang aku lakukan tidak akan membuatnya kembali padaku, apalagi menghilangkan rasa sakit di hatiku.

***

“Sen, kapan kamu akan kembali ke Jakarta?”

“Belum tau Oma.”

“Sen, sudah setahun kamu di sini. Kamu tidak rindu orangtua dan teman-temanmu?”

“Tidak,” ucapku sambil menerawang jauh. Untuk apa aku rindu, karena memang tidak ada yang merindukanku juga. Teman? Aku tidak punya teman sejak aku dekat dengan Billy.

Yaa, itulah kesalahan terbesarku. Kenapa aku terlalu dekat dengannya, terlalu menggantungkan diri dengannya, terlalu berharap banyak darinya. Sekarang, menyesal pun tidak ada gunanya.

“Senna.”

“Oma, aku baik-baik saja. Bila sudah waktunya aku pasti akan pulang.”

Aku melangkah meninggalkan Oma, keluar menuju halaman depan. Mataku memandang luas dan cerahnya langit, warnanya terlihat begitu biru. Di atas sana, matahari juga tidak mau kalah, ia bersinar terang, menyilaukan mata. Aku mengangkat kedua tanganku dan menghirup udara segar pegunungan. Merasakan semua ciptaanNya dengan kelima inderaku.

“Kamu harus kembali, jangan jadi pengecut!”

Spontan aku membalikkan tubuhku, mencari sumber suara. Ternyata ada Bisma berdiri tegak di belakangku, ia memandangku dengan sorotan mata yang tidak aku mengerti. Aku mengalihkan pandanganku dan berjalan cepat meninggalkannya. "Kenapa juga ia tahu aku di sini," gumamku.

“Hei,” Bisma dengan cepat meraih lenganku. Aku menariknya tetapi tidak terlepas, ia lebih kuat. “Sen, ayolah.. mau sampai kapan kamu begini!” bentaknya. “Billy sudah nggak cinta kamu lagi, dia mau nikah!!”

“Aku tahu.”

“Lalu…”

Aku mengangkat bahuku, malas berdebat. Pegangan Bisma semakin kuat, aku mengaduh kesakitan. “Sakit Bis.” Tetapi Bisma tetap tidak melepas pegangannya.

“Aku nggak akan lepas, sebelum kamu berjanji akan pulang.”

“Kamu tahu itu tidak mungkin.”

“Jangan jadi pengecut Sen, kamu harus terima.”

“Aku sudah terima.”

“Bohong!”

“Terserah kamu mau percaya atau tidak.”

“Ikut aku pulang dan pergi ke pernikahan Billy. Buat aku percaya, buat orangtuamu percaya, buat semua orang percaya, kalau kamu sudah bisa menerima kenyataan ini!”

Perbincanganku dengan Bisma beberapa hari yang lalu terus saja mengusikku. Benar apa katanya, aku pengecut, aku terlalu takut menghadapi kenyataan. Kenyataan kalau aku sudah berpisah dengan Billy, dan kenyataan kalau ia lebih memilih perempuan lain dibandingan aku. “Sialan!” umpatku keras.

***

Kakiku melangkah perlahan, satu demi satu menaiki tangan menuju ruang utama. Sebelum masuk, terdapat meja tamu yang tersusun dengan rapi, ada banyak bunga dan berbagai ornamen berwarna hijau. Para penerima tamu juga mengenakan gaun berwarna hijau, sedangkan yang laki-laki mengenakan jas hitam. Setelah menulis buku tamu, mataku menangkap sesuatu di sebelah kananku, ada sebuah pigura besar yang terpajang indah di sana. Dalam foto itu, terlihat Billy mengenakan jas hitam sambil memeluk seorang perempuan dari sisi belakang, perempuan itu terlihat sangat cantik, rambutnya dibiarkan terurai, dengan mahkota kecil dikepalanya, gaun berwarna putihnya menambah keanggunannya. Aku mendesah pelan, apakah aku akan terlihat secantik itu memakai mahkota dan gaun.

Lamunanku hilang begitu Bisma memanggilku. Aku mengikuti langkahnya menuju ruang resepsi. Benar saja, semuanya terasa serba hijau. Langit-langit dan dinding ruangan, dihias dengan kain berwarna hijau, begitu juga dengan pelaminan. Bunga-bunga dengan pot besar dan kecil juga bertebaran di mana-mana.

“Ayo..” aja Bisma. Ia mengangkat lengannya, aku menggeleng pelan sambil tersenyum. Tidak, aku datang untuk menunjukkan kalau aku baik-baik saja, bukan karena Bisma.

Tetapi ternyata aku salah. Aku tidak sekuat yang aku kira. Begitu aku menaiki pelaminan, jantung ini tiba-tiba melonjak cepat, debarannya sampai kurasakan di setiap jari-jari tanganku. Kepalaku tiba-tiba terasa begitu berat, pandanganku mulai terasa berputar-putar. Aku meremas jemariku berulangkali, menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan. “Aku bisa, aku bisa, aku bisa,” ucapku dalam hati.

“Hai, terima kasih sudah datang.” Suara itu membuyarkan semua pertahananku. Aku bergeming, tanpa suara dan gerakan. Sudah setahun kami tidak saling bertemu dan menyapa, tetapi tidak ada yang berubah darinya. Ia tetap sama.

“Selamat ya Bil,” ucap Bisma membuatku melonjak kaget.

“Eh selamat ya Hun..” aku menutup mulutku dengan kedua tangan. Tidak, apa yang sudah aku katakan. Mata Billy juga terlihat membesar menatapku. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, aku tertangkap basah. Segera aku melangkah cepat menuruni anak tangga meninggalkan pelaminan. Suara panggilan Bisma dan Billy, tidak membuatku menoleh. Sambil terus memeluk tas dalam dadaku yang terasa sesak, aku terus saja berlari kecil. “Ayo Sen,” batinku. Aku bisa meledak kapan saja.

Pintu gerbang menjulang tinggi di hadapanku, aku semakin mempercepat langkahku. Hanya satu yang ada dalam pikiranku saat ini, yaitu secepat mungkin meninggalkan tempat ini, meninggalkan semuanya.

“Awaaas…” teriak Bisma. Aku menoleh dan ternyata ada truk besar melaju cepat ke arahku. Aku berusaha menghindarinya, tetapi ternyata kecepatanku tidak secepat laju truk itu.

“Sen..Senna.. kamu tidak apa-apa,” ucap Bisma sambil berusaha mengangkatku bangun.

“Tentu saja, aku baik-baik saja,” ucapku sambil menutup kedua mataku, mengakhiri semuanya.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun