Mohon tunggu...
Bastomy Ali Burhan
Bastomy Ali Burhan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Mencoba mendapatkan yang terbaik dan memberikan yang terbaik. Masih bercita-cita menjadi Bupati Jember dan bermimpi menjadi Menteri Kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Senyum Afia Terkembang (Lagi)

20 September 2014   12:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:09 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu, saya sempat menulis tentang sosok Afia. Seorang anak dari keluarga kurang mampu yang mengalami kecelakaan cukup hebat sehingga membuat dia tidak sadarkan diri hingga 3 bulan dan setelah sadar dia mengalami keterbatasan yaitu kelumpuhan fisik. Dan saat itu pula saya sampaikan bahwa Afia tetap menunjukkan keceriaanya di tengah keterbatasannya.

Beberapa saat setelah saya menulis artikel tersebut, saya mendapatkan kabar bahwa Afia sudah mulai bersekolah. Saya sangat senang mendengarnya. Saya sempatkan mengunjungi Afia dan rumahnya. Ternyata Afia sekolah dengan cara digendong oleh ibunya. Padahal ibunya sudah cukup renta untuk menggendongnya. Namun pancaran semangatnya mampu mereduksi berat tubuh Afia yang beliau gendong.

Sekali lagi, setiap saya melihat kondisi rumahnya, saya sangatlah miris. Belum bisa dikatakan rumah. Hanya sepetak tanah dengan kamar, dapur dan pancuran air. Dari situ saya tergerak untuk bisa membantunya. Saya coba ajukan bantuan ke tempat saya bekerja. Karena memang inilah bidang tempat saya bekerja.

Ternyata respons juga cukup baik dari pihak lembaga. Afia akan mendapat bantuan berupa toilet dan jamban di rumahnya agar rumahnya lebih layak dan sehat. Saya pun sangat bersemangat untuk membantunya. Saya berencana untuk mensurvei rumah, mengukur tempat dan sebagainya. Saya pun menyampaikan rencana tersebut kepada Ibu Afia. Saat semangat saya menggebu-gebu, tiba-tiba harus putus di tengah jalan. Ternyata bantuan kepada Afia gagal, oleh karena persoalan administratif dan birokratis. Seperti biasa persoalan klasik di Indonesia. Saya sangat kecewa. Saya bingung bagaimana cara saya menyampaikan batalnya bantuan ini kepada Ibu Afia.

Akhirnya saya beranikan diri untuk menyampaikannya. Dan jawaban dari Ibu Afia sangat tidak saya duga. “Mas, kulot mboten nolak didamelaken WC. Kulo remen mas.Tapi griyo kulo niki sanes dibangun teng tanah kulo. Kulo meniko ngampung dateng derek mas. Kulo Mboten wantun. Mangke Wonten Nopo-nopo.”

(Mas, saya sebenarnya tidak menolak dibangunkan WC. Saya senang mas. Tapi Rumah saya ini tidak dibangun di tanah saya sendiri. Saya ini  menumpang di saudara saya. Saya tidak berani. Takut ada apa-apa,-red)

Entah apa yang saya rasakan saat mendengarnya. Lega karena kebatalan bantuan ini tidak mengecewakan beliau. Juga sedih mengetahui bahwa sebegitu susahnya beliau dan Afia. Saya pun pulang dengan membawa rasa yang bercampur aduk. Dan keinginan saya untuk membantu Afia semakin besar. Tapi dalam bentuk apa? Saya ingin membantu tapi takut salah dan malah menyinggung mereka.

Kebetulan saat itu menjelang Hari Raya Idul Fitri. Momen tersebut saya manfaatkan untuk membantu Afia. Saya sisihkan sebagian uang saya dengan nilai yang mungkin tidak bernilai menurut orang lain. Tapi itulah kemampuan saya. Saya tidak sampaikan langsung, tapi saya titipkan kepada teman saya yang asli warga sana. Saya pun cukup merasa lega.

Waktu berlalu. Saya disibukkan dengan aktivitas saya. Hingga suatu hari seorang ibu menyapa saat saya melintas di desa. “Mas Tomy, maturnuwun nggeh.” (Mas Tomy, Terimakasih.,-red). Ternyata beliau adalah Ibu Afia yang sedang menunggu Afia pulang dari sekolah. Saya pun memakirkan motor dan bersalaman dengan beliau. Tak lama kemudian Afia datang. Ternyata Afia sudah pulih total. Dia sudah bisa berjalan sendiri, bisa sekolah seperti biasa. Alhamdulillah.

“Monggo mampir, mas.” (Silahkan mampir mas,-Red). Sebenarnya tawaran itu tidak ingin saya tolak. Namun agenda pada hari itu sangat padat sehingga terpaksa saya menolaknya. Kemudian kami pun berpisah. Sepanjang jalan saya tersenyum sendiri. Entah mengapa, begitu bahagianya saya melihat Afia sudah bisa berjalan, bisa bersekolah dan tetap ceria. Senyum Afia akhirnya mengembang lagi diiringi senyum dari Ibunya yang sangat menyayanginya.

Raih cita-citamu, Afia! Senyumanmu dan Ibumu akan terus mengiringi langkahmu.

“Sesuatu yang kadang tak bernilai bagi kita, akan menjadi begitu bernilai dan membekas di hati orang lain.”

Rembang, 20 September 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun