MESKIPUN sudah menurunkan harga premium sebanyak dua kali dalam bulan Desember ini, pemerintah masih menebar janji bahwa harga bahan bakar minyak (BBM) bakal turun lagi. Pemangkasan harga BBM yang pertama pada tanggal 1 Desember untuk jenis premium sebesar Rp 500, dari Rp 6.000 menjadi Rp 5.500 per liter; kemudian yang kedua tanggal 15 Desember untuk premium jadi Rp 5.000 per liter; dan solar dari Rp 5.500 menjadi Rp 4.800 per liter.
Pemerintah memang terkesan sangat bersemangat menurunkan harga BBM, bahkan kebijakan soal harga BBM diumumkan langsung oleh Presiden RI. Suasana di saat pengumuman penurunan harga pun terlihat begitu santai, sangat berbeda ketika pemerintah harus menaikkan harga BBM akibat harga minyak mentah di atas 100 dollar AS per barrel.
Meskipun kebijakan menurunkan harga BBM mutlak dilakukan setelah harga minyak mentah berada di bawah 50 dollar AS, pemerintah terkesan menikmati situasi tersebut karena seakan-akan memberikan "hadiah" bagi rakyat. Seolah-olah, rakyat pasti senang dengan pemerintahan SBY-JK karena harga bensin yang mengalami turun harga sampai dua kali.
Namun ada hal yang harus diingat oleh pemerintah dan rakyat Indonesia, bahwa ketika harga minyak mentah melangit, kita semua disadarkan bahwa produksi minyak mentah Indonesia sangat merosot tajam hingga di bawah satu juta barrel per hari (bahkan kita keluar dari OPEC karena sudah menjadi pengimpor), kita juga terlalu boros terhadap BBM dengan konsumsi satu juta barrel per hari, dan kita lalai tak mengembangkan energi alternatif.
Ketika minyak mentah mencapai rekor hingga mendekati 150 dollar AS per barrel pada pertengahan tahun 2008, pemerintah begitu semangat untuk mengembangkan bahan bakar alternatif. Bahan bakar alternatif yang paling primadona adalah biodiesel dan biofuel.
Namun kelemahan bahan bakar tersebut, khususnya di Indonesia adalah tak bisa berkembang jika harga BBM masih jauh lebih murah dari harga biodiesel dan biofuel. Oleh karena itu, cukup beralasan jika kebijakan penurunan harga oleh pemerintah sekaligus memunculkan ancaman bagi usaha pengembangan biodiesel dan biofuel di Indonesia.
Jika pemerintah tidak membuat satu kebijakan untuk mengamankan agar pengembangan biodiesel atau biofuel tetap on the track, niscaya upaya tersebut seperti kasus "genteng bocor". Semangat untuk memperbaiki genteng bocor sangat tinggi saat musim hujan, tetapi tatkala matahari bersinar kembali, kita menunda perbaikan genteng.
Mengapa harus khawatir pengembangan biodiesel atau biofuel tak jalan? Pasalnya harga bahan bakar biodiesel dan biofuel di Indonesia tak pernah berada di bawah harga BBM. Sehingga orang masih senang membakar BBM yang tentu lebih murah, dan bermasa bodoh dengan anggaran pemerintah yang jebol.
Oleh karena itu, pemerintah tidak bisa tenggelam dalam euphoria rakyat yang menikmati penurunan harga. Pemerintah harus memastikan program bahan bakar alternatif pengganti BBM tetap berjalan, meskipun harga minyak sudah tidak membahayakan APBN.
Caranya, tentu dengan memastikan kelebihan anggaran akibat anjloknya harga minyak mentah, harus tetap disisikan untuk mendanai upaya pengembangan biodiesel dan biofuel. Selain itu, tetap menawarkan insentif bagi investor yang akan berinvestasi untuk meningkatkan produksi biodiesel dan biofuel di dalam negeri.
Jika pemerintah tidak melakukan semua itu, dan hanya sibuk menghitung bagaimana menurunkan harga untuk ketiga kalinya agar rakyat senang, niscaya kita akan kembali menghadapi masalah dalam soal energi di masa depan. Bukan karena harga minyak kembali meroket, tetapi karena cadangan minyak mentah kita yang memang terus merosot belakangan ini.