Empat dekade sudah jepang mengalami penurunan rasio kelahiran penduduk. Dekade ini merupakan yang terburuk dimana Jepang adalah negara dengan tingkat rasio populasi usia tua yang tinggi yang berbanding terbalik dengan rentang usia yang lebih muda.Â
Bahkan rasio tahun ini menurun 1,3% daripada tahun lalu dengan rasio 7,301 kelahiran per 1000 orang. Perhitungan statistik berikut jika terus berlangsung maka pada tahun 2040 penduduk Jepang akan berkurang sangat drastis. Populasi penduduk yang saat ini berkisar 127 juta penduduk akan turun menjadi 107 juta penduduk.
Meningkatnya taraf kesehatan masyarakat yang baik di Jepang juga memberikan dampak positif kesejahteraan kesehatan bagi warganya dengan ditandai dengan banyaknya penduduk berusia tua yang sehat. Tetapi karena tidak didukung dengan rasio kelahiran yang juga seimbang, maka dampak ini akan menjadi dampak yang sangat buruk. Contoh statistik perhitungan rasio dapat dilihat pada chart di bawah.Â
Tetapi ada penjelasan sederhana mengapa penurunan rasio kelahiran ini terus menerus dalam trend yang buruk, yaitu berkurangnya kesempatan bagi pemuda terutama pria untuk mendapatkan pekerjaan yang baik dan menjanjikan. Jepang memiliki kultur budaya bahwa pria adalah sumber utama ekonomi yang mencari nafkah bagi keluarga. Berkurangnya kesempatan kerja bagi pria menyebabkan berkurangnya rasio pernikahan dan diikuti oleh rendahnya rasio kelahiran.
Pada artikel sebelumnya yang saya tulis mengenai "kenapa orang Jepang tidak berpindah tempat kerja" dijelaskan bahwa kebijkan Jepang mengadopsi sistem "kepegawaian tetap". Â Dimana jika seseorang bekerja dengan tekun, loyal terhadap satu perusahaan akan mendapatkan banyak keuntungan baik secara finansial maupun hal lain hingga ia pensiun.Â
Sistem perekrutan kerja di Jepang pada sektor formal juga jarang dilakukan secara "at will". Kultur kerja yang menempatkan perusahaan menjadi keluarga kedua, dan bersedianya untuk lembur berjam-jam. Paradigma tidak sopan jika pulang terlebih dahulu mendahului atasan dan kegiatan sosial yang seakan wajib bagi karyawan untuk kumpul-kumpul makan dan minum selepas kerja yang menjadikan sedikit waktu yang tersedia bagi keluarga dan karyawan untuk bersosial dengan pasangan diperparah dengan pertumbuhan ekonomi yang stagnan.
Dewasa ini, trending perusahaan yang menerapkan kebijakan karyawan kontrak di Jepang juga juga relatif naik dikarenakan lesunya ekonomi negara tersebut. Seseorang yang bekerja dengan status karyawan tetap memiliki status sosial yang tinggi baik di perusahaan maupun di sosial. Â Dimana jika seseorang bekerja dengan tekun, loyal terhadap satu perusahaan akan mendapatkan banyak keuntungan baik secara finansial maupun hal lain hingga ia pensiun. Meskipun bekerja sebagai karyawan kontrak atau tersedia banyak pekerjaan paruh waktu di Jepang (yang tanpa kompensasi tambahan), dianggap tidak memiliki karier dan finansial yang stabil.Â
Jeff Kingston seorang profesor dari Universitas Temple Jepang menyatakan bahwa sekitar 40% masyarakat Jepang bekerja sebagai pekerja paruh waktu atau karyawan tidak tetap. Di mata sosial masyarakat Jepang, terutama bagi pria menandakan bahwa jika pria tidak memiliki pekerjaan sebagai karyawan tetap atau pekerjaan yang tetap maka pria tersebut dianggap bukan merupakan kandidat pasangan suami yang tepat. Bahkan meskipun baik kedua pasangan memiliki pekerjaan yang bersifat paruh waktu atau tidak tetap, besar kemungkinan bagi pihak orangtua mereka tidak akan menyetujuinya.
 Hampir 70% perempuan di Jepang berhenti bekerja untuk sementara dan menjadi ibu rumah tangga. Meskipun setelah itu mereka mencoba untuk mencari pekerjaan pada sektor formal sebagai karyawan tetap, pada akhirnya karena menghadapi banyak kendala memutuskan untuk bekerja sebagai karyawan paruh waktu. Pekerjaan paruh waktu banyak tersedia di Jepang, pekerjaan ini juga dimanfaatkan bagi pelajar atau mahasiswa yang ingin menambah uang sakunya. Tetapi meskipun begitu pekerjaan paruh waktu juga memiliki jam kerja yang tidak terduga dengan gaji yang relatif rendah.Â
Pria dan perempuan di Jepang  berada dalam insecurity mengenai finansial jika melanjutkan jenjang pernikahan. Pria merasa kurang pantas dan kurang memiliki kesempatan untuk menjadi kandidat yang baik untuk menikah. Sedangkan karena tidak percaya diri dan sedikitnya pria yang siap untuk menikah, perempuan merasa kesulitan untuk menemukan kandidat seorang suami bagi dirinya.  Â