“Kegiatanku yang tepat waktu satu-satunya ialah ketika berbuka puasa.” Tukilan sajak Taufik Ismail “Rindu pada Stelan Jas Putih dan Pantalon Putih Bung Hatta”, yang dilantangkan seorang kawan membuat saya merinding. Ingatan saya lekas tertarik pada insiden merabo-nya Mamak Sjahrul Udjud, Mantan Walikota Padang. Kalau orang biasa tentu tiada seketat ini ingatan saya. Tetapi karena ini Mamak Sjahrul, yang tidak hobby cari sensasi istilah orang zaman kini, serta berkenaan dengan tokoh pitua Minang yang sangat saya hormati, membuat ingatan saya tidak mau pupus.
Kisah merabo-nya Mamak Sjahrul adalah akibat keterlambatan Irwan Prayitno (IP), dalam acara Halal Bil Halal Pemprov Sumbar dan masyarakat Minang di Jakarta. IP selaku Gubernur Sumbar, bertindak sebagai pengundang.
Lazim memang seorang pejabat negara terlambat datang ke acara. Tetapi kali ini Mamak Sjahrul merabo. Pasalnya, keterlambatan itu membuat dua tokoh pitua Minang – mendiang Prof. Dr. Harun Zain dan Ir. Januar Muin - pulang dengan kecewa kendati acara belum dimulai. Padahal Harun Zain yang sudah sepuh, usia 85 tahun, datang tepat waktu karena kecintaannya pada Sumbar.
Orang Minang mana yang tidak kenal Harun Zain? Namanya harum nian di Sumbar. Beliau adalah Gubernur Sumbar periode 1966-1977 dan salah satu orang paling berjasa dalam meletakan pondasi pembangunan Sumbar. Jasa terbesarnya adalah penyanggah dan pembangkit martabat dan harga diri orang Minangkabau paska dihantam “kecelakaan sejarah” PRRI.
Sejarahwan Universitas Andalas (Unand), Prof. Dr. Phil Gusti Asnan menggambar masa itu dengan ungkapan “Kala itu, masyarakat Sumbar tidak bisa tagak kapalo terhadap pemerintah pusat. Para politisi dan pewira militer tidak dipercaya lagi pemerintah Soekarno. Hal ini berdampak pada adat, budaya dan kesenian yang ikut hancur.”
Dan Mamak Sjahrul yang kesohor sangat santun pada para tokoh pitua Minang –termasuk Hasan Basri Durin dan Azwar Anas – pun me-rabo. “Saya tidak bisa menerima orang yang sudah berjasa mengangkat harkat dan martabat orang Minang diperlakukan seperti itu. Saya pribadi menuntut Gubernur Sumbar meminta maaf secara terbuka,” lantang orang dekat Wakil Presiden Jusuf Kalla ini.
Tidak jelas apakah IP telah meminta maaf kepada para tokoh pitua Minang secara terbuka atas kesilapan itu. Serupa itu pula ketidakjelasan di benak saya, mengapa IP absen pada serimoni pemberian gelar doktor honoris clausa Harun Zain dari Unand pada September 2010 silam. Penasaran saya kian menggeliat ketika menyitir kabar bahwa IP tidak hadir ketika Harun Zain wafat pada 19 Oktober 2014 silam.
Tokoh-tokoh minang dari segala penjuru datang melayat. Sebut saja Irman Gusman, Musliar Kasim, Emil Salim, Azwar Anas, Awaluddin Djamin, Hasan Basri Durin, Muslim Kasim, Djohermansyah Djohan, Boy Rafli Amar, Sjahrul Udjud, Werry Darta Taifur, Basrizal Koto dan lainnya. Bahkan Jusuf Kalla, yang besok akan dilantik sebagai Wakil Presiden RI, bersama para pitua Minang tersebut, menyempatkan diri untuk hadir dan menshalati almarhum. Entah kemana IP saat itu. Barangkali IP punya alasan kuat yang belum ter-kaba di telinga saya.
Lain IP, lain pula pola Muslim Kasim (MK) dalam berinteraksi dengan Harun Zain. Karena menerima tempaan didikan surau dan olah Silek Minang, MK sangat menaruh hormat pada Harun Zain dan para tokoh pitua Minang lainnya. Apalagi selaku ketua LKAAM Padang Pariaman, MK tentu qatam jasa Harun Zain dalam menjaga dan mengembangkan budaya Minangkabau.
Gebu Minang merupakan organisasi yang dirintis oleh Harun Zein dalam rangka menghimpun potensi perantau untuk membangun kampung halaman. Serupa dengan gaya kepemimpinan Harun Zain yang bisa diterima semua kalangan, MK pun mempraktikan petatah “nan tuo dihormati, nan ketek disayangi, samo gadang baok bakawan.” Bukan cuma di kalangan elit, MK punya tradisi memenuhi undangan urang baralek kendati dihelat oleh kalangan rakyat badarai.