Karena saya terlalu bodoh dan tidak tahu untuk memberikan komentar. Itu adalah premis dasar saya dalam merangkai tulisan ini. Terlalu banyak isu yang ada di dunia untuk diketahui secara mendalam, bahkan untuk dicermati secara ringan permukannya saja. Mata cuma dua tidak bisa melihat apa yang terjadi di dalam tembok rumah tetangga. Telinga cuma dua tidak bisa dipakai buat nguping obrolan di angkringan pinggir jalan raya. Kita punya mulut yang bisa digunakan untuk melemparkan berbagai pernyataan, yang belakangan ini diganti perannya oleh sepuluh jari tangan untuk menulis di kolom komentar media daring. Namun kelapangan pikiran dapat digunakan untuk memilih dan memilah apa informasi yang masuk dan pernyataan yang dikeluarkan.
Isu-isu yang berseliweran belakangan memang terlalu menggoda untuk tidak dikomentari. Isunya apa saja itu terserah prioritas anda sendiri yang menilai. Yang saya sarankan yaitu keterbatasan informasi pasti selalu ada untuk menghambat penilaian pribadi mengenai suatu hal dengan sejernih dan seobjektif mungkin. Sampah-sampah pikiran memang perlu dibersihkan sejenak agar ide-ide dan informasi dapat mengalir dengan jernih di pikiran kita. Agar pikiran tidak terhambat dan bahkan hingga menyebabkan banjir.
Bukan berarti saya melarang untuk berkomentar lho. Siapa saya yang berani melawan UUD 28 E Ayat 3 yang jadi salah satu soko guru demokrasi di Indonesia, hahaha. Tapi ketahuilah kapasitas diri dan coba tahan godaan untuk mengeluarkan pernyataan yang sifatnya impulsif. Omongan orang nilainya lebih tinggi daripada kentut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H