Mohon tunggu...
Cerita Pemilih

Dramaturgi Anies Baswedan : Lakon Tanpa Tanggung Jawab

17 April 2017   18:25 Diperbarui: 17 April 2017   18:59 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Warga DKI Jakarta pasti telah mengenal sosok Anies Baswedan: Calon Gubernur DKI Jakarta yang diusung Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Namun, benarkah kita telah mengenal Anies tanpa menelusuri sepak terjangnya dalam dinamika sosial-politik? Bisa jadi, kita hanya mengenal tampilan luarnya saja; sebagai sosok yang gagah dan berwibawa. Padahal, banyak sisi-sisi kontroversial dalam perjalanan karir Anies, baik di dunia akademik maupun di arena pertarungan politik. Meski perjalanan politik Anies sulit ditebak, dan sering membingungkan banyak orang, namun manuver-manuver politiknya melahirkan kemelut sosial-politis yang tidak dapat dianggap remeh, yang berdampak besar dalam kehidupan sosial. Tulisan ini akan menyingkap pergumulan politik yang dilakoni Anies, dengan harapan mampu mengurai kekusutan-kekusutan kontroversial yang terbungkus dalam dramaturgi Anies Baswedan, serta dampak-dampaknya dalam kehidupan sosial-politik.

Anies sebagai Pengusung Pluralisme? Atau Anti-Pluralisme?

Selain menempuh pendidikan sarjana di Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM) (1989-1995), Anies Baswedan aktif bergiat di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan juga pernah menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa UGM. Setelah lulus dari UGM, Anies mendapatkan beasiswa Fulbright untuk pendidikan Master di Bidang Keamanan Internasional dan Kebijakan Ekonomi Universitas Maryland, Amerika Serikat. Sedangkan program doktor ditempuhnya di Northern Illinois University pada tahun 1999.[1] Selama kuliah, Anies Baswedan tidak pernah mengambil program studi keislaman, selain hanya menempa kajian-kajian keislaman di HMI yang kental dengan wacana Islam toleran dan demokratis.

Terbukti, ketika menjalani studi di Amerika Serikat, Anies pernah menulis beberapa artikel tentang demokrasi dan politik Islam di Indonesia, salah satunya berjudul "Political Islamin Indonesia: Present and Future Trajectory", yang dimuat di jurnal Asian Survey. Dalam tulisan tersebut, Anies menyimpulkan bahwa partai Islam yang mengusung agenda Islam konservatif sudah tidak lagi relevan dalam konteks Indonesia, sebaliknya masa depan politik Islam cenderung didominasi oleh agenda sekuler-inklusif (PDI, Golkar, dsb.) dan Islam-inklusif (PKB dan PAN).[2] Yang perlu ditekankan di sini, serupa dengan gagasan Nurcholish Madjid (Cak Nur), Anies menentang formalisasi hukum Islam dalam konteks kenegaraan: hukum Islam tidak boleh mengintervensi hukum negara. Gagasan itulah yang melahirkan kontroversi di kalangan muslim konservatif karena dianggap sebagai pandangan sekuler.

Tidak heran, perjalanan intelektual yang ditempuh Anies Baswedan mengantarkannya ke lingkaran intelektual Universitas Pamadina, kampus yang didirikan melalui kerja sama antara beberapa tokoh muslim moderat seperti Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo dan beberapa intelektual lainnya, dengan para pengusaha seperti Abdul Latif dan Ahmad Ganis (mertua Anies Baswedan). 

Para intelektual Universitas Paramadina mengusung pemikiran kritis dan menghargai keragaman penafsiran atas teks-teks keislaman,[3] yang tidak berbeda dengan tulisan Anies Baswedan tentang demokrasi dan Islam inklusif. Namun, yang mengherankan dan cukup kontroversial di kalangan akademisi Universitas Paramadina, Anies Baswedan yang baru berkecimpung di kampus tiba-tiba diajukan sebagai kandidat rektor di Universitas Paramadina, dengan menyisihkan para akademisi senior yang lebih lama dan lebih banyak menghasilkan karya. Otomatis, banyak kalangan akademisi senior menentang pengangkatan Anies yang tercium bau nepotisme karena ada keluarga Anies di Dewan Pembina Universitas Paramadina. Bahkan, penolakan paling keras datang dari Ibu Omi Komaria, istri almarhum Nurcholish Madjid..

Kontroversi pengangkatan Anies sebagai Rektor Universitas Paramadina sudah diulas panjang lebar oleh Mohammad Monib,[4] salah satu teman Anies yang saat ini menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Islam (PSI) Universitas Paramadina. Saat itu, Mohammad Monib menawarkan jalan keluar kepada Anies untuk menenangkan pihak-pihak yang menentangnya, dengan perjanjian bahwa jabatan Pembatu Rektor I diberikan kepada seorang penentangnya. Anies setuju. Lobi-lobi politik pun berhasil meredam penentangan dan memuluskan pelantikan Anies sebagai rektor pada 15 Mei 2007. 

Namun, setelah dilantik sebagai rektor, Anies justru mengingkari janjinya, dengan alasan bahwa dia ingin menegakkan pemerintahan yang bersih (good government) di Universitas Paramadina. Nyatanya, alasan yang dikemukakannya tidak terbukti, sebaliknya Anies justru menempatkan orang-orang kepercayaannnya di posisi-posisi strategis, seperti jabatan Pembantu Rektor I dan III. Jadi,Anies ini culas, sengkuni, munafik, khianat pada omongannya sendiri.Tiba-tiba,si Anies itu bawa temannya ditaruh sebagai PurekI, sekarang timsesnya,” jelas Monib saat dihubungi melalui telpon seluler (9/3/2017). Kasus yang dialami Monib menunjukkan terlalu mudahnya Anies mengumbar janji tanpa memiliki komitmen untuk menepatinya. Tak heran kalau banyak akademisi Paramadina yang tidak menyukainya.

Meski demikian, Anies tetap menjalani perannya sebagai rektor sekaligus intelektual Universitas Paramadina yang kental dengan nuansa pemikiran pluralisme keagamaan; misalnya menfasilitasi kajian-kajian lintas agama dan berbagai aliran keagamaan minoritas, termasuk kajian Syiah. Maklum, dalam pengembangan jaringan institusional baik di dalam mapun luar negeri, Universitas Paramadina memang dituntut untuk menguatkan citranya sebagai lembaga yang mengusung demokrasi dan keragaman keberagamaan. Selain itu, peran yang dimainkan Anies semakin menguatkan posisinya dalam jaringan Islam-pluralis. Kritik Anies terhadap Islam konservatif pun terus berlanjut saat menjabat sebagai Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah; menurutnya, praktik keagamaan di sekolah cenderung didominasi oleh agama Islam yang dianut mayoritas penduduk, seperti pelaksanaan doa sebelum dan sesudah belajar, sehingga dibutuhkan peraturan tersendiri yang mampu mengapresiasi keragaman agama.[5]

Peran yang dimainkan Anies sebagai pengusung pluralism melahirkan permusuhan yang kuat di kalangan muslim yang mengusung agenda Islam konservatif. Salah satu situs muslim konservatif merangkum berbagai aktivitas Anies yang membela pluralisme keagamaan serta mempersoalkan terjadinya kekerasan Sunni terhadap penganut Syiah.[6] 

Dalam menghadapi serangan-serangan yang dilakukan kalangan muslim konservatif, Anies memperoleh dukungan dari kawan-kawannya di jaringan Islam inklusif-pluralis. Namun, kawan-kawan Anies yang dulu mengagumi dan mendukungnya justru kini mengalami kekecewaan, salah satunya adalah Ade Armando yang menuliskan penyesalan atas dukungan yang diberikannya dulu kepada Anies setelah melihat perubahan karakter Anies secara drastis sejak dicalonkan oleh Gerindra dan PKS sebagai gubernur DKI Jakarta.[7] 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun