”Hoi!”
Suara itu kembali terdengar bahkan semakin dekat. Kedua kerbau itu pun menerka-nerka dari mana suara itu berasal. Beberapa lama kemudian,
“Hoi!,” seekor kancil muncul dari balik sebuah pohon yang berdaun lebih lebat dari pohon lain yang ada di sana. Pohon itu berjarak 400 meter dari batu besar. Ketika tahu kalau suara itu adalah suara Si Kancil, kedua kerbau itu pun terlihat lega. Sebab telah terlepas dari jerat rasa penasaran mereka. Jarak Si Kancil pun kini semakin dekat.
“ Ohhh, baru kalian berdua saja?” ujar Si Kancil setelah sampai di depan kedua kerbau, “mana yang lain?” Si Kancil kemudian duduk di atas batu besar.
“Mana saya tahu,” jawab Si Kerbau Kurus sambil memakan rumput kecil di samping kakinya.
“ Ah, kalau begini caranya merugikan sekali ini namanya,” Si Kancil menghentakkan kakinya.
“Merugikan?” Si Kerbau Gemuk mengernyitkan dahinya.
“Ya, gara-gara akan mengikuti rapat ini saya terpaksa meninggalkan rumput-rumput di ujung sana. Rumputnya segar dan banyak pula,” muka Si Kancil memerah. Kesal.
“Oh, kau menemukan rumput segar? Di mana?” kedua kerbau itu tak percaya.
“Ha ha ha, kalian tidak percaya? Aku ini kan cerdik, tidak seperti kalian, cuma badan kalian saja yang besar, ha ha ha!” Si Kancil menunjuk-nunjuk kepalanya sendiri kemudian tertawa senang.
Kedua kerbau itu menundukkan kepala, bukan karena malu, tetapi meresa tersinggung. Sepasang telinga mereka menjadi panas, seolah akan mengeluarkan api.
“Sudah tiga minggu yang lalu saya menemukannya, ha ha ha!” Si Kancil semakin terbahak- bahak.
“Jadi karena kecerdasan itu jugakah kau berbohong padaku dua minggu yang lalu?” Si Kerbau Kurus angkat bicara. Perkataan itu membuat Si Kancil tersentak dari tawanya. Suaranya yang keras bagaikan ditelan bumi, hilang seketika. Ia pun mencoba mengingat-ingat kembali apa yang dikatakannya dua minggu yang lalu pada Si Kerbau Kurus. Belum sempat ia menemukan jawaban, Si Kerbau Kurus melanjutkan ucapannya. Kali ini dengan nada tinggi.
“Dua minggu yang lalu kau katakan tak menemukan rumput sedikitpun, tapi ternyata kau berbohong dan memakannya sendiri,” suara Si Kerbau Kurus tak terbendung kerasnya karena marah.
“Oh!,” Si Kancil pun kini telah mengingat kebohongnnya itu. Sebentar itu juga rasa sesal menggelantung di sekujur tubuhnya. Dia menyesal karena terlanjur mengatakan, ia menemukan rumput-rumput itu. dia baru sadar bahwa kekesalan tadi telah membuat ia menyombongkan diri dan mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak ia ucapkan.
Tapi Si Kancil tak mati akal. Dengan pelan ia berkata, ”Aku katakan pun, percuma saja, rumput itu tidak banyak, untukku saja belum tentu cukup,” Si Kancil pun memasang muka iba, berharap kedua kerbau itu mempercayainya. Akan tetapi nihil, kebohongannya tadi rupanya tak bisa ia bersihkan hanya dengan wajah iba. Si Kerbau Kurus semakin marah.
“Bagaimana mungkin kau masih bisa makan di sana sampai saat ini, jika benar rumput itu sedikit? Bukankah tadi juga kau katakan rumput di sana sangatlah banyak? Apakah karena kami beda jenis dengan kau kemudian kau tak mau berbagi dengan kami?” pertanyaan dari si Kerbau Besar datang bertubi-tubi. Si Kancil mati kutu dibuatnya. Kancil yang mengaku sangat cerdik dan banyak akal itu pun tak mampu menjawab lagi.
Bersambung…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H