[caption caption="Raja Airlangga"][/caption]
Pesta Perkawinan
Berawal dari kisah kasih antar saudara sepupu -yang memang telah direncanakan perjodohan sebelumnya, Airlangga dan Dyah Sri Laksmi tengah berbahagia dalam belaian pesta perkawinan mereka. Perhelatan itu dilaksanakan di Tawmlang, ibukota Kerajaan Medang secara besar-besaran dan terbuka. Semua pembesar kerajaan, "abdi dalem" istana, prajurit dan bahkan rakyat umum pun dipersilahkan ikut serta dalam pesta tersebut. Setiap orang yang hadir disuguhi makanan, minuman, dan hiburan yang belum pernah mereka temui sebelumnya. Semua menjadi terlena dalam suasana suka cita tersebut. Mengingat pesta yang memang digelar secara terbuka dan umum, penjagaan istana pun sedkit longgar. Hal itu dilakukan karena sang empunya hajat ingin menyambut semua tamunya dengan hangat dan tanpa formalitas khas kerajaan. Namun demikian, alih-alih membuat khidmat pesta, justru mengundang musibah tak terduga bagi kerajaan Medang.
Â
Penyerangan Sepihak Kerajaan Wora-Wari
Rencana perhelatan besar tersebut sudah tercium sejak lama oleh Raja Sriwijaya. Ia pun segera mencari celah untuk menjatuhkan Medang. Syahdan, longgarnya penjagaan istana Medang menjadi pilihan. Hal itu dimanfaatkannya untuk membalaskan dendam lama atas penyerangan Medang terhadap Sriwijaya. Lantas Raja Sriwijaya memerintahkan Kerajaan Wora-Wari sebagai sekutunya, untuk menyerang Kerajaan Medang ditengah pesta perkawinan Airlangga. Segala persiapan telah dilakukan. Menyusun strategi penyerangan, melatih sejumlah pasukan, serta menyediakan sejumlah perbekalan.
Hingga sampailah pada waktu yang ditunggu-tunggu, yakni kelengahan penjagaan istana saat pesta berlangsung. Penyerangan Wora-Wari dilakukan secara cepat dan sepihak. Tanpa ada persiapan dari pihak Medang sebagaimana perang pada umumnya. Istana, balairung, bahkan dapur yang terbuat dari kayu pun dengan mudahnya terbakar oleh sulutan api pasukan Wora-Wari. Dalam keadaan terdesak itu, beberapa prajurit Medang yang melakukan perlawanan pun dengan mudahnya ditumpas lawan.
Â
Sisa Penyerangan: Pelarian Tiga Orang
Segalanya tumpas dalam penyerangan tersebut. Hanya tersisa tiga orang yang berhasil menyelamatkan diri. Diantaranya ialah sepasang pengantin, Airlangga dan Dyah Sri Laksmi, serta seorang pengikutnya, yaitu Narotama. Mereka masuk dalam pintu rahasia istana dan bersembunyi dalam lorong bawah tanah yang hanya diketahui oleh Dyah Sri Laksmi dan ayahnya, Dharmawangsa. Didalam lorong tersebut, terdapat jalan yang tak satupun mereka tahu dimana ujungnya. Berbekal obor yang memang disediakan, ketiganya menyusuri jalan disepanjang lorong bawah tanah itu. Berhari-hari lamanya perjalanan bawah tanah itu berlangsung. Tak secuil pun makanan mereka temui. Untuk sekedar bernafas pun terasa pengap karena sedikitnya kadar oksigen. Bahkan mereka tak bisa membedakan waktu siang dan malam. Yang mereka lakukan hanyalah berjalan diantara tajamnya bebatuan yang melukai tubuh mereka.
Sampai pada suatu hari, ujung lorong itu mulai terlihat dengan adanya titik-titik pancaran sinar. Semangat mereka sedikit pulih melihat tanda-tanda kehidupan diatas mereka. Dengan sesegera mungkin mereka menyelesaikan perjalanan bawah tanah mereka. Dan sampailah mereka diujung lorong bawah tanah itu, yang tak lain ialah sebuah pohon besar dengan akar-akar yang menutupi ujung lorong tersebut. Pohon itu terletak ditengah hutan belantara. Dan pada saat itu juga barulah mereka sadar bahwa hari telah malam. Hanya rembulan yang menjadi penerang malam itu. Sejenak mereka beristirahat, mencari makanan seadanya; umbi-umbian, akar-akar tanaman yang lunak, hingga bermacam dedaunan. Tak jarang dari mereka harus memuntahkan kembali makanan-makanan tersebut karena rasanya yang tidak enak. Setelah merasa cukup untuk mengganjal perut, yang jauh dari rasa kenyang tentunya, mereka putuskan untuk meneruskan perjalanan malam. Selain takut akan kejaran pasukan Wora-Wari, tampaknya sinar rembulan saja sudah cukup untuk menerangi perjalanan mereka. Mereka terus berjalan, tanpa tahu arah mata angin. Hingga matahari terbit, barulah mereka mengerti posisi matahari dan arah mata angin. Selama perjalanan di hutan belantara itu, mereka harus bertahan hidup dari alam, tanpa perbekalan apapun. Dan entah kenapa, binatang buas pun tak pernah menggangu perjalanan mereka.
Beberapa kali mereka singgah di padepokan, namun tak satupun padepokan yang sesuai dengan nurani mereka. Sampai akhirnya mereka sampai di sebuah padepokan yang asri. Beberapa cantrik menyambut kedatangan mereka dengan sangat ramah. Sepertinya pemilik padepokan memang telah mengetahui akan datangnya ketiga orang tamunya itu. Pemilik padepokan tersebut ialah Mpu Kanwa, -yang ternyata masih memiliki hubungan kerabat dengan Airlangga. Dan sejak hari itu, mereka bertiga resmi berguru pada Mpu Kanwa. Mereka, terutama Airlangga, yang diyakini sang guru mempunyai "wahyu keprabon", mendapat pengajaran secara rutin.
Sang guru tampaknya sengaja mempersiapkan Airlangga sebagai pemimpin di hari mendatang. Berbagai teori kepemimpinan diajarkan. Lebih dari itu, Airlangga diajarkan teori kepemimpinan berdasarkan watak alam. Mpu Kanwa menyebut teori itu dengan nama: "Asto Broto".