daerah mereka untuk lima tahun ke depan. Pemilihan pemimpin tersebut telah disepakati dan diatur melalui perundang-undangan yang berlaku, yakni undang-undang Pemilu dan Pilkada.
Rakyat Indonesia kembali akan menyalurkan aspirasinya melalui pemilihan pemimpinPemilihan Kepala Daerah atau lebih dikenal dengan sebutan Pilkada merupakan mekanisme pemilihan pemimpin di suatu daerah Indonesia yang dilaksanakan secara LUBER (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia) dan JURDIL (Jujur dan Adil) oleh seluruh lapisan masyarakat.
Masyarakat yang memiliki harapan atau keinginan untuk masa depannya dapat menitipkannya kepada seorang kontestan Pilkada. Bila terpilih, pemimpin daerah tersebut yang berkewajiban memperjuangkan dan mewujudkan semua aspirasi masyarakat.
Penjelasan mengenai mekanisme pemilihan pemimpin tersebut sekilas nampak sederhana dan mudah dilaksanakan. Namun faktanya, di beberapa daerah, pelaksanaan Pilkada acapkali menimbulkan masalah yang berujung pada konflik horizontal.
Teranyar, di daerah Sampang, Madura, yang sudah menewaskan satu orang pendukung salah satu paslon Pilkada. Konon, korban dikeroyok menggunakan senjata tajam hingga meninggal karena menjadi pendukung atau saksi dari salah satu kontestan Pilkada.
Tragedi Pilkada Sampang ini bukan sekadar catatan kelam pelaksanaan demokrasi Indonesia tapi juga menjadi cerminan kedewasaan berpolitik masyarakat Indonesia secara umum. Hanya soal beda pilihan, persaudaraan jadi permusuhan bahkan nyawa melayang.
Politisasi Isu Primordial
Tragedi Pilkada Sampang, dan mungkin juga terjadi di daerah lainnya, memang diwarnai oleh ketegangan antar pendukung yang kemudian berujung terjadinya konflik. Peristiwa semacam ini biasanya bermuara pada isu primordial semisal suku, ras, agama dan kekerabatan yang itu sengaja dipolitisasi untuk kepentingan kelompok tertentu.
Ditambah lagi rivalitas dalam pertarungan politik antar kontestan, di dalamnya ada tim sukses, tokoh politik, budaya, agama dan sebagainya yang juga turut memperparah suasana Pilkada dengan memprovokasi masyarakat akar rumput demi keuntungan kelompok sendiri.
Politisasi isu primordial ini acapkali dilakukan oleh para elit untuk menjatuhkan lawan, meraih simpati masyarakat tanpa sedikitpun memikirkan dampak sosialnya, baik sebelum maupun sesudah Pilkada, dan cara ini dapat dikategorikan sebagai kampanye hitam atau paling tidak kampanye negatif.
Tentu saja, cara-cara seperti ini, menggunakan isu primordial, mempolitisasi keberagaman, menyulut ketegangan untuk mendapatkan kemenangan merupakan cara yang sama sekali tak dapat dibenarkan dengan alasan apapun karena dampaknya pada kehidupan sosial akan terus berkelanjutan.