Manusia, menurut Walter Fisher, adalah makhluk pencerita (homo narrans) yang menjadikan nilai, emosi dan estetika sebagai asas keyakinan sekaligus perilaku manusia itu sendiri. Cerita juga mengandung rasionalitas, meskipun dengan bentuk yang lebih beragam.
Keterampilan bercerita seorang pendidik, termasuk dalam bentuk humor, cenderung lebih efektif daripada pendidik yang killer, sok berkuasa dan sok berwibawa. Cerita yang dituturkan oleh pendidik akan mencairkan suasana dan mengakrabkan hubungan dengan anak didiknya, sehingga pelajaran lebih mudah dipahami.
Waktu SMA, saya dan seluruh teman sekelas merasa riang gembira tatkala jadwal pelajaran Matematika tiba. Ini bukan karena materinya mudah atau gurunya tidak hadir, tapi gurunya sangat humoris. Baru di depan pintu saja, semua siswa tertawa karena tingkah lucunya.
Begitu pula saat menjelaskan materi dalam bentuk rumus dan angka-angka, nyaris tidak ada kesan sulit untuk memahami karena senantiasa dijelaskan dengan bahasa humor, mulai dari intonasi suara, pilihan kata, gerak tubuh dan ekspresi wajah.
Tak ada raut wajah tegang dan ketakutan dari teman-teman sekelas ketika guru Matematika ini masuk kelas seperti yang digambarkan banyak kalangan. Bahkan, terus terang saja saya jadi suka dan sedikit mengerti soal Matematika sebab jasa guru humoris ini.
Sisi Humoris Presiden Indonesia: Gus Dur dan Jokowi
Sejak proklamasi kemerdekaan, Indonesia sudah tujuh kali mengalami pergantian presiden. Mulai dari Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, serta Jokowi. Mungkin, salah satu presiden Indonesia yang terkenal humoris adalah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Konon, presiden ke-4 Indonesia ini acapkali memenuhi kehidupan berbangsa dan bernegara dengan humor, bahkan dia kerap melontarkan kritik terhadap lawan politiknya melalui humor, sehingga meskipun terasa pedas tapi masih tetap bisa tertawa.
Melaui candaan atau humornya, banyak orang kemudian merasa tersindir lalu berbenah. Satu contoh, Gus Dur bercerita tentang perbedaan antara bangsa Indonesia, Amerika dan Jepang. Katanya, bangsa Jepang itu sedikit bicara tapi banyak kerja. Kalau bangsa Amerika, mereka banyak bicara sekaligus banyak kerja. Bangsa Indonesia, sedikit bicara plus tidak kerja.
Orang yang mendengar cerita Gus Dur ini sontak tertawa karena lucu. Padahal, esensinya Gus Dur sedang mengkritik diri dan bangsanya yang malas bekerja, tidak seperti orang jepang atau bangsa Amerika.