Mohon tunggu...
bustanol arifin
bustanol arifin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Happy Reader | Happy Writer

Tertarik Bahas Media dan Politik | Sore Hari Bahas Cinta | Sesekali Bahas Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Disinformasi, Ancaman Nyata Pemilu 2024

14 Januari 2024   05:18 Diperbarui: 15 Januari 2024   05:39 966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mural kampanye antihoaks di bawah jembatan layang Rawa Buntu, Serpong, Tangerang Selatan, Senin (11/3/2019). Foto: KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Dampak terbesar dari disinformasi adalah ketidakpastian dalam pengambilan keputusan pemilih. Informasi yang salah atau bias dapat mempengaruhi opini masyarakat dan membuat mereka mengambil keputusan yang tidak didasarkan pada fakta. Ini bukan hanya ancaman terhadap integritas pemilihan, tetapi juga fondasi dasar demokrasi yang bergantung pada partisipasi informasional dan pemilihan rasional.

Selain itu, disinformasi dapat memperdalam perpecahan dan polarisasi. Kelompok-kelompok yang terpolarisasi cenderung menerima informasi yang memperkuat pandangan mereka sendiri, memperlebar kesenjangan pemahaman antar kelompok, terutama masyarakat kalangan bawah. Hal ini menciptakan lingkungan di mana dialog konstruktif menjadi sulit, yang pada gilirannya mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Masalahnya bukan hanya masyarakat bawah atau akar rumput yang menjadi korban, justru paling dominan adalah orang terdidik dan terpelajar. Lebih mengerikan lagi, disinformasi ini tidak mengenal batas usia, semua disasar dan menjadi korban disinformasi itu sendiri. Mulai dari anak SD sampai dengan gelar akademik tertinggi tidak luput dari target operasi.  

Ini menambah kerumitan dalam mencari solusi terhadap permasalahan yang mengancam kesakralan serta integritas pemilu. Dapat dibayangkan bagaimana cara mengatasi kalangan terdidik yang percaya pada disinformasi, sementara mereka dianggap orang yang mempunyai kemampuan untuk menyaring informasi salah dan benar. Belum lagi anak-anak atau remaja yang sudah sejak kecil terpapar disinformasi ini.

Harus kita akui, media sosial menjadi saluran utama penyebaran disinformasi perihal pemilu ini. Masing-masing kandidat melalui para pendukungnya saling serang menggunakan berita palsu untuk mendeskreditkan lawan politiknya. Pada saat yang sama, algoritma media sosial sering kali memperkuat gelembung informasi, membuat pengguna terjebak dalam ekosistem yang hanya memperkuat pandangan mereka sendiri.

Solusi untuk mengatasi bencana disinformasi ini tidak lain kecuali peningkatan literasi media. Rendahnya tingkat literasi informasi menyebabkan masyarakat menjadi rentan terhadap propaganda politik dan disinformasi. Dalam hal ini, literasi tidak hanya mencakup kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga keterampilan kritis untuk menganalisis, memahami, dan menilai informasi dengan bijak.

Kampanye penyuluhan tentang cara mengenali dan menghindari disinformasi melalui seminar lokakarya dan lain sebagainya harus semakin digencarkan. Ini dilakukan bukan hanya oleh para pemerhati, praktisi, atau organisasi namun, pemerintah juga perlu turun tangan mengedukasi masyarakat perihal pentingnya literasi media.

Lembaga pendidikan perlu mendapatkan perhatian khusus dan prioritas utama dalam upaya peningkatan literasi media. Pasalnya, para pelajar dan mahasiswa merupakan pengguna aktif media sosial dan otomatis menjadi sasaran utama para pendengung kebencian. Ini demi masa depan Indonesia yang lebih berperadaban, memastikan generasi mudanya memiliki tingkat literasi media yang tinggi serta menjungjung tinggi kejujuran.  

Berikutnya adalah media sosial itu sendiri, wadah dimana semua bentuk disinformasi itu diproduksi dan disebarluaskan. Maka, kerjasama dengan platform media sosial juga tidak dapat dihindari. Mengidentifikasi dan menghapus konten palsu, peningkatan algoritma untuk mengurangi penyebaran disinformasi, bersama dengan transparansi dalam pengaturan konten, dapat membantu meredam efek disrupsi yang disebabkan oleh informasi palsu.

Terakhir adalah penegakan hukum dari pihak berwenang. Bagi siapa saja yang membuat dan menyebarkan disinformasi atau berita palsu tertait pemilu 2024 harus ditindak dan dipidana, supaya menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Selebihnya, ketegasan pemerintah dalam hal ini menkominfo untuk memblokir akun-akun atau situa-situs penyebar disinformasi pemilu termasuk juga provider aplikasi media sosial yang melakukan pembiaran.

Sekali lagi, penyebaran disinformasi ini menjadi ancaman nyata bagi pemilu 2024. Ancaman bagi para kandidat, rakyat dan negara Indonesia seutuhnya. Sebagaimana disebutkan diawal, disinformasi ini dapat menimbulkan chaos serta menyesatkan pemilih, melahirkan polarisasi dan perpecahan sesama anak bangsa.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun