Mohon tunggu...
bustanol arifin
bustanol arifin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Happy Reader | Happy Writer

Tertarik Bahas Media dan Politik | Sore Hari Bahas Cinta | Sesekali Bahas Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kilas Balik Pemilu Serentak, dari Pemilu Legislatif hingga Musibah Kemanusiaan

1 Januari 2024   08:55 Diperbarui: 2 Januari 2024   06:23 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terhitung sejak, 14 Juni 2022 lalu, tahapan proses pemilu (pemilihan umum) sudah dimulai. Dari mulai tahap perencanaan hingga berakhir dengan pelantikan nanti. Saat ini sedang tahap masa kampanye, baik eksekutif maupun legislatif. Seperti yang kita saksikan selama satu bulan ini, semua kontestan pemilu sedang beradu atau berlomba mendongkrak popularitas mereka untuk menarik simpati masyarakat dan mendulang suara di hari pencoblosan nanti.

Pemilu dimaksud adalah pilpres dan pileg sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022. Adapun pilkada, baik Gubernur, Bupati dan Walikota disebut sebagai "pemilihan," sebagaimana tertera dalam UU Nomor 1 Tahun 2015. Artinya, bila merujuk pada UU dan Peraturan KPU ini, sejatinya pemilu serentak itu ada dua, yakni pilpres (pemilu presiden) dan pileg (pemilu legislatif).

Hanya saja, nampaknya hampir semua mata tertuju pada tahapan pelaksanaan pilpres atau pemilu presiden dan wakil presiden, dan cenderung mengabaikan pemilu legislatif yang saat ini juga sedang berlangsung. Padahal keduanya sama-sama penting, memilih wakil rakyat yang akan mewakili kita di parlemen. Mereka (DPD, DPR, DPRD) merupakan para pembawa aspirasi masyarakat, pengawal konsitusi, pembuat UU dan pengawas pemerintah.

Dapat dibayangkan bila para kontestan pileg ini luput dari pengawasan publik, kemudian yang terpilih nanti adalah orang-orang yang secara kapasitas dan juga kapabalitas tidak memenuhi syarat anggota dewan atau diluar ekspekstasi kita, maka secara otomatis kinerja sekaligus produk kerjanya akan jauh dari nilai-nilai pancasila. Selain itu, potensi kecurangan di pemilu legislatif sangat terbuka lebar sehingga harus benar-benar terkawal secara maksimal.

Pengabaian itu terlihat dari topik bahasan di media online dan masyarakat sehari-hari, entah itu disengaja atau karena faktor ketidaktahuan. Hampir semua pemberitaan di media online membahas seputar capres-cawapres dan sedikit sekali mengangkat isu pileg. Mestinya, media juga harus meliput dan memberitakan pilpres dan pileg ini secara seimbang agar masyarakat menjadikan gelaran pemilu legislatif penting dan ikut andil melakukan pengawasan.

Sejatinya bukan hanya calon presiden, masing-masing partai peserta pemilu juga sudah punya visi-misi dan target tertentu yang akan diperjuangkan di parlemen bila menang nanti melalui anggota legislatifnya. Artinya, pilpres dan pileg ini seperti dua sisi mata uang, dua-duanya ingin memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara melalui jalur eksekuti dan legislatif. Satunya membuat undang-undang, satunya lagi melaksanakan undang-undang tersebut.

Dalam prakteknya, presiden dan wakilnya tidak mampu berbuat apa-apa bilamana anggota DPR menolak atau memprotes apa yang hendak dilakukan oleh pemerintah. Contohnya, soal UU cipta kerja, APBN, pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dan lainnya. Begitu pula sebaliknya, bila anggota dewan inginkan sesuatu, maka harus dilaksanakan oleh pemerintah dan bahkan andaikata DPR ingin menurunkan presiden atas nama mandat rakyat juga bisa. Lantas, kenapa kita cenderung apatis mengawal pemilu legislaf ini?

Padahal, semua partai juga sedang berkampanye, memasarkan visi-misi dan program kerjanya melalu para caleg mereka. Sebut saja misalnya, janji partai kepada rakyat Indonesia, ada yang mau merestorasi Indonesia, mensejahterakan rakyat, memberikan BLT, harga sembako murah, menolak IKN, menggratiskan BPJS, menurunkan harga BBM, biaya pendidikan murah dan lain sebagainya. Andai saja ini turut disorot oleh media maka publik akan sadar dan pada akhirnya akan melakukan pengawasan sejak pileg hingga ke gedung anggota dewan.

Hal ini tentu menjadi catatan penting serta kilas balik pertama pelaksanaan pemilu serentak tahun 2024. Satu sisi, mungkin ini termasuk dari bagian kelemahan bila pemilu dilaksanakan secara bersamaan, dan sisi lainnya bisa jadi ada faktor human eror di dalamnya. Sebagai bahan evaluasi sekaligus pengingat bagi seluruh elemen bangsa, bukan hanya penyelenggara dan kontestan pemilu, tapi media dan juga masyarakat secara umum.

Berikutnya, kita juga harus berkaca pada pelaksanaan pemilu 2019, di mana banyak pertistiwa tak diinginkan terjadi. Seperti polarisasi yang begitu tajam, kecurangan dan anggota KPPS yang banyak meninggal. Pasti semua elemen tidak ingin peristiwa serupa atau bahkan yang lebih mengerikan terulang kembali di pemilu 2024 ini, kecuali bagi orang yang menginginkan negeri ini selalu dalam kegaduhan, perpecahan dan kemunduran dalam segala bidang.

Kampanye mengerahkan buzzer untuk menyerang lawan politik dengan narasi adu domba, memecah belah, penyebaran disinformasi hanya akan menimbulkan polarisasi, bukan hanya ketika pemilu berlangsung namun berlanjut hingga pemerintahan berjalan. Pemilu 2019 jadi pelajaran berhaga bagi para elit, para kontestan, penyelenggara, media, partai politik serta alit agar polarisasi tidak terulang kembali karena hanya akan menyulitkan sekaligus merugikan kita sendiri, bangsa dan negara Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun