Saya punya teman, namanya Dhomir (bukan nama sebenarnya). Kebetulan, ia termasuk penyayang binatang dan bersamanya seekor kucing bernama Susi dipelihara. Suatu ketika, teman-temannya yang lain datang berkunjung ke rumahnya lalu terjadilah dialog seperti berikut: "Anjing, goblok! Kemana aja minggu ini gak kelihatan?" Tanya mereka mengawali obrolan santai penuh keakraban. "Ada! Di sini aja, nemenin Susi main."Â Jawabnya santai sambil mengulurkan senyum dan tangan menyalami para tamunya.
Orang yang dipanggil dengan "Anjing goblok" oleh teman-temannya ini sebenarnya memiliki nama lengkap bagus lagi indah. Tersusun dari bahasa arab dan mengandung arti kebaikan. Pribadinya shaleh dan fisiknya juga ganteng. Sebaliknya, kucing bernama Susi itu bagi saya tidak merepresentasikan keindahan nama yang disematkan kepadanya. Hanya kucing kampung biasa dengan bentuk ekor, bulu serta bunyinya seperti kucing kampung pada umumnya. Dugaan saya, karena sang pengadopsi penyayang binatang.
Tulisan ini bukan bermaksud membahas masalah sahabat apalagi hewan peliharaan. Dialog di atas, saya ketengahkan sebagai sampel bahwa, tidak sedikit masyarakat di sekitar kita yang memiliki mindset kebolak-balik. Iya, dialog di atas contoh kecilnya. Manusia atau orang, disapa dengan nama binatang. Pada saat yang sama, binatang dinamai serta dipanggil dengan nama orang. Tentu, ini merupakan cara atau pola berfikir kebolak-balik dan bagaimanapun juga, sebagai makhluk berakal dan beragama hal demikian tidak dapat dibenarkan.
Teranyar, ucapan Prabowo Subianto yang sempat viral dan menjadi tranding topic di lini masa X. Saat memberikan sambutan dalam sebuah forum tersebut, ia melontarkan kata, "Ndasmu Etik" yang disambut tawa oleh para hadirin. Bagi kebanyakan orang jawa, kata "Ndasmu" termasuk kategori kata kasar dan mengucapkannya dianggap tidak sopan dan santun. Saya termasuk orang yang menyesalkan kata tersebut terucap dari lisan orang yang jadi panutan banyak orang karena khawatir ditiru oleh masyarakat Indonesia, khususnya generasi milenial.
Kalau kita cermati, nampaknya sumber utamanya adalah minimnya perbendaharaan kata kebaikan yang dikuasi oleh masyarakat, atau bisa jadi karena keterbatasan jumlah kosakata bahasa bangsa Indonesia itu sendiri. Artinya, perbendaharaan kata keburukan itu lebih dominan dibanding dengan kebaikan. Hal ini dapat dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari, baik di dunia nyata maupun maya. Kata atau kalimat apa yang sering kita dengar dari orang-orang sekitar? Kosakata apa yang paling banyak bersiliweran di timeline media sosial kita?
Sejauh yang saya tahu, kata atau kalimat keburukan bernuansa cacian, makian, kebencian, permusuhan, pengkerdilan, sumpah-serapah dan lain sebagainya lebih dominan dibanding dengan kata pujian, dukungan, sanjungan, penghormatan, penghargaan, persatuan dan doa kebaikan. Masyarakat lebih mudah menghujat daripada memberi ucapan selamat. Meskipun ada, itupun terbatas dan sedikit kesulitan. Sulit misalnya, ketika seorang anak memiliki kecerdasan intelektual di atas rata-rata.
Kemudian sebagai orangtua hendak memberikan pujian kepadanya. Mungkin, kosakata yang keluar hanya; kamu hebat, pintar, genius, pandai, mantap, luar biasa. Belum mampu mengucapkan padanan kata selain kata tersebut. Bagaimana kalau prestasinya tidak hanya satu atau sekali, apakah masih menggunakan kosakata itu juga. Tapi, coba kalau sang anak mengalami kegagalan atau masalah sekali saja maka dengan mudah berkata; kamu bodoh, tolol, dungu, goblok, bego, bebal, otak udang dan lain sebagainya.
Semuanya keluar, termasuk bahasa daerah, binatang dan sumpah serapah. Padahal, kalau mau berfikir kemudian belajar bahwa padanan kata pintar itu ada kurang lebih 277, sedangkan bodoh hanya 153 (https://sinonim.lektur.id). Artinya, lebih banyak kosakata kebaikan daripada keburukan. Ini perlu menjadi catatan penting bagi kita semuanya, bahwa membumikan kebaikan pada semesta merupakan tanggungjawab kita sebagai manusia. Apalagi, sebagai bangsa yang berpancasila sekaligus beragama tidak pantas menabur keburukan, termasuk kosakata.
Alhasil, memperkaya perbendaharaan kata kebaikan adalah keniscayaan. Sebagai upaya meminimalisir kosakata keburukan yang saat ini cenderung banyak digemari oleh generasi milenial. Cara sederhanya untuk memperkaya perbendaharaan kata kebaikan kita adalah dengan banyak membaca sekaligus mengaplikasikannya. Pada saat yang sama, segenap kaum terpelajar perlu terus berupaya menambah kuantitas kosakata kebaikan bahasa Indonesia kita. Dengan demikian, bangsa Indonesia tidak hanya dikenal baik dalam bersikap tapi juga dalam berucap.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H