Istilah politik bagi kalangan elit maupun awam sudah tidak asing lagi, terlebih saat ini sedang memasuki musim pemilihan umum baik eksekutif maupun legislatif. Meskipun masing-masing orang memiliki sudut pandang berbeda dalam mendefinisikan politik.Â
Misalnya, kita seringkali mendengar masyarakat pada umumnya mengartikulasikan politik sebagai aktivitas pemilihan umum saja, seperti pemilihan presiden dan wakilnya, gubernur serta bupati. Makanya, kalau pemilu tiba, muncul istilah "Musim Politik" di kalangan masyarakat.
Beberapa dari mereka mengartikan politik dengan "tata kelola pemerintahan, atau aktivitas pengambilan keputusan. Jadi, politik bukan hanya pesta lima tahunan atau pemilihan umum.
Namun, sejauh pemerintahan itu berdiri dan selama kehidupan manusia itu masih ada maka aktivitas atau proses politik masih terus ada.Â
Biasanya, pandangan ini dikemukakan oleh para akademisi dan juga praktisi politik yang secara klaster mereka termasuk kalangan elit. Mereka termasuk orang-orang yang melek politik dan berkecimpung di dalamnya.
Saya sendiri tentu lebih sepakat dengan definisi kedua, karena bagaimanapun politik bukanlah sekadar pemilihan, tapi proses dan aktivitas setelah pemilihan itu jauh lebih penting.Â
Artinya, bagi yang terpilih atau duduk di pemerintahan punya kewajiban untuk menunaikan janji-janji politiknya, mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara serta mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bagi semesta. Di luar itu, masyarakat memiliki tanggungjawab ikut serta mengawal pemerintah dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Memang benar, riuh politik nampak terasa ketika pemilu tiba. Setelahnya, nyaris tidak terlihat kegaduhan lagi kecuali oleh segelintir orang saja. Boleh dikata, politik adalah pemilu memang ada benarnya, karena setelah pemilihan rata-rata lupa pada tugasnya.Â
Pemerintah lupa pada rakyatnya dan rakyat lupa pada wakilnya. Ini bukan sekadar kacang lupa kulitnya, tapi kacang dan kulit sama-sama lupa dari mana mereka berasal.Â
Sialnya lagi, saat "Musim Politik" tiba semua kemungkinan buruk dapat terjadi, termasuk permusuhan dan perpecahan.
Inilah kemudian yang coba dihadirkan oleh segenap anak bangsa, menghadirkan pemilu yang jujur, adil, damai, aman, tenang dan menggemberikan. Pemilu adu gagasan menuju kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia sekarang dan di masa depan.Â
Semua calon pemimpin dari level atas hingga bawah menawarkan ide serta gagasannya untuk kemajuan Indonesia tanpa mencela apalagi menfitnah pasangan calon (paslon) lainnya. Memajang pikiran-pikran besar mereka di atas etalase diri agar dipilih oleh masyarakatÂ
Kalau kata teman-teman pemuda Hidayatullah pemilu atau politik seperti ini disebut dengan "Progresif-Beradab," maju membawa gagasan, pada saat yang sama mereka lakukan dengan cara yang baik lagi benar alias beradab berdasarkan norma hukum, sosial, budaya dan agama.Â
Istilah inilah yang kemudian mereka proklamirkan dalam setiap narasi serta aktivitas politik untuk memberikan penyadaran pada para elit politik dan masyarakat Indonesia secara umum, agar sadar bahwa politik itu mulia dan harus diraih dengan cara mulia pula.
Tambah menarik lagi ketika kata "Politik" ini disandingkan dengan kata "Silaturahmi." Kata yang asal-usulnya dari bahasa Arab, yakni "Silaturrahim." Artinya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "tali persahabatan (persaudaraan)."Â
Bersilaturahmi, berarti menyambung tali persahabatan atau persaudaraan yang bisa jadi karena sudah lama tidak jumpa, karena jauh atau permusuhan, baru kenal dan minta bantuan.Â
"Agar silaturahmi tidak putus, pinjam dulu seratus," bunyi pantun yang sedang familiar saat ini.
Politik Silaturahmi dipopulerkan oleh ormas Islam Hidayatullah, tepatnya ketika gelaran akbar Silaturrahim Nasional Hidayatullah 2023 di Balikpapan, Kalimantan Timur.Â
Dalam kegiatan ini, Hidayatullah mengundang ketiga calon presiden untuk hadir sekaligus mempersilakan ketiga calon tersebut memberikan tausiah kebangsaan kepada seluruh peserta Silatnas.Â
Hal ini dapat diartikan bahwa merawat ikatan persaudaraan dan menjaga persatuan lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan politik praktis lima tahunan.
Sebagaimana lumrah kita ketahui, masyarakat terpecah menjadi beberapa kubu sejak pemilu tahun 2014 dan 2019. Terjadi polarisasi begitu tajam antara pendukung Joko Widodo dengan Prabowo Subianto.Â
Saling serang antar kubu dengan cacian, fitnah dan juga provokasi penuh kebencian menenuhi hingar-bingar dunia maya.Â
Tentu saja, kondisi seperti ini tidak ingin terus berlarut dan harus segera diselesaikan. Salah satunya dengan cara menyambung silaturahmi kembali dengan seluruh elemen bangsa, baik elit maupun alit.
Rasanya tepat memilih istilah "Politik Silaturrahim" sebagai diksi menjaga persatuan sekaligus merawat keberagaman.Â
Dari kata silaturahmi ini dapat berkembang narasi dan aksi, misalnya silaturahmi anak bangsa, silaturahmi gagasan dan banyak lagi tali-tali kebaikan yang mampu kita sambung dan dapat kita jadikan kekuatan untuk memajukan Indonesia.Â
Politik Indonesia harusnya lebih mengedepankan kepentingan bangsa dan negara, bukan lagi golongan, partai apalagi perseorangan sehingga muncul nasionalisme dalam diri kita.
Pada akhirnya, kita sebagai calon pemilih atau terpilih perlu menjaga kondusifitas pemilu agar berjalan dengan jujur, adil, damai, aman dan menggemerikan.Â
Jali silaturahmi, perkuat ikatan persahabatan dan persaudaraan kita tanpa harus memandang suku, agama, ras, partai, calon dan status sosial.Â
Kepada para elit, sampaikan pesan persatuan dan persaudaraan kepada kita semua, dan juga kepada seluruh rakyat Indonesia jangan sampai putus silaturahmi kita hanya karena berbeda pilihan politik. Mari kita bangun politik silaturrahim! Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H