Mohon tunggu...
Busroni Wongsodimejo
Busroni Wongsodimejo Mohon Tunggu... wiraswasta -

Local made, fragile, low explosive..\r\nPls, handle with care!\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Quid Pro Quo, Jokowi !

12 Oktober 2014   01:43 Diperbarui: 4 April 2017   18:03 2084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

" Quid Pro Quo" , frase bahasa Latin ini diucapkan Dr. Hannibal Lecter ( Anthony Hopkins ) saat menyanggupi permintaan penyidik FBI, Clarice ( Jodie Foster ) untuk membantu mengungkap kasus pembunuhan berantai. Frase dalam salah satu scene film " Silence of the Lambs " itu membekas dalam ingatan saya selain tentu saja aksi watak Jodie Foster yang saat itu sedang mekar dan kinyis kinyisnya. Secara kata per kata artinya adalah " ini untuk itu". Frase itu kurang lebih bermakna bahwa harus ada timbal balik atas tindakan yang dilakukan seseorang dimana pihak lain mendapatkan jasanya. Hal ini sudah jamak terjadi dalam hubungan antar manusia terlebih dalam bidang bisnis. Tak terkecuali hal tersebut juga jamak untuk dunia politik karena politik itu sendiri adalah sarat dengan kepentingan yang diusung oleh kekuatan politik. Atau dalam politik praktis kepentingan itu terwakili oleh partai politik. Mungkin juga dari frase itu muncul pernyataan dari pebisnis yang terjun ke politik Hashim Djojohadikusumo ke rival politiknya " ada yang harus dibayar atas pengkhianatan " yang ramai akhir akhir ini.

Dalam praktek politik tanah air , frase " quid pro quo " sangat gamblang diperlihatkan oleh politisi kita . Praktek transaksional seperti bagi bagi kekuasaan ini sepertinya justru marak setelah era reformasi karena menjamurnya partai politik dengan kepentingan sesaat atau jangka panjang. Oleh karena itu , saya sedikit pesimis ketika Jokowi saat kampanye selalu mendengungkan " tidak ada bagi bagi kursi ", " koalisi tanpa syarat ", " kabinet ramping " dsb. Jargon jargon tersebut memang sangat merdu di telinga dan seolah olah antitesa dengan pemerintahan SBY. Saya mungkin akan sedikit yakin dengan jargon jargon tersebut jika suara PDI-P di pileg diatas 30% atau jika perolehan suara Jokowi -JK diatas 65% atau menang telak. Faktanya adalah meski jadi pemenang pileg suara PDI-P cuma 19% dan hanya selisih 5-6% dalam pilpres. Menurut saya modal politik Jokowi dan PDI-P tidak cukup untuk mendukung jargon jargon tersebut menjadi nyata dalam sistem politik Indonesia saat ini.

Dan melihat apa yang terjadi dalam panggung depan politik Indonesia akhir akhir ini , jargon jargon kampanye tersebut terbukti menemui hambatannya. Kontes politik di Senayan memperlihatkan " tidak hebatnya " barisan koalisi pendukung Jokowi meski saya percaya politik itu dinamis. Dalam pembentukan kabinet pun akhirnya Jokowi juga rela mengakomodasi partai politik pendukungnya. Bahkan untuk memperkuat koalisinya dengan menarik lebih banyak parpol harus dengan iming iming jabatan menteri.

Memang secara Undang Undang dan dalam sistem kabinet presidensial, posisi presiden masih kuat dan bisa melakukan roda pemerintahan meski tanpa dukungan mayoritas parlemen. Namun soal efektifitas pemerintahan tentu tetap sedikit terpengaruh karena DPR pun punya fungsi pengawasan dan penentuan anggaran serta ikut menentukan jabatan strategis lembaga negara.

Dan pada akhirnya Jokowi dan koalisinya sepertinya menyadari akan hal tersebut. Bagaimanapun presiden itu jabatan politis yang didapat dari proses politik bukan seperti CEO perusahaan swasta yang merupakan jabatan professional. Meskipun mereka kemarin katanya sudah menutup diri untuk koalisi namun sepertinya masih membuka parpol lain untuk bergabung. PPP sepertinya akan menambah kekuatan pendukung Jokowi di pemerintahan dan parlemen. Dan dengan PKB pun masih tarik ulur soal menteri harus melepas jabatan di partainya. Ya kita lihat saja nanti karena saya percaya bahwa satu satunya yang konsisten dalam politik itu yaa "ketidakpastian" itu sendiri. Mencla mencle itu syarat utama jadi politisi koq. Meski sebenarnya saya juga mengakui tak ada manusia dewasa yang tidak mencla mencle sepanjangnya hidupnya.

Pada akhirnya ungkapan "tidak ada makan siang yang gratis " menemukan kebenarannya dalam politik kita. Dan kita sepertinya harus melihat hal tersebut sebagai kewajaran asal masih memprioritaskan pemilik kedaulatan yang sebenarnya yaitu rakyat. Karena rakyatpun juga akhirnya ingin timbal balik dari amanat yang diberikan pada presidennya dan akan berseru kepada presidennya " Quid Pro Quo, tuan Presiden !

Merdeka !

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun