Mohon tunggu...
Busroni Wongsodimejo
Busroni Wongsodimejo Mohon Tunggu... wiraswasta -

Local made, fragile, low explosive..\r\nPls, handle with care!\r\n

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Jelang Laga Indonesia Vs Malaysia, More Than Just a Game ?

30 November 2012   12:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:25 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Menjelang laga panas skuad kebangsaan ( bahasa Melayu menyebutnya begitu ) Malaysia kontra tim nasional Indonesia di Stadion Bukit Jalil Sabtu besok, aura panas melingkupi duel tersebut. Tensi bertambah karena duel tersebut adalah menentukan bagi ke dua tim untuk maju ke semifinal. Malaysia harus menang karena jika seri nasibnya akan ditentukan oleh pertandingan Singapura kontra Laos. Sedangkan Indonesia kalau kalahpun masih berpeluang jika Laos bisa menjungkalkan Singapura meskipun itu sangat sulit. Jika Indonesia kalah dan Laos menang maka Indonesia akan bersaing dengan Laos yang nilainya sama yaitu 4 untuk menemani Malaysia ke semifinal. Tapi jika Singapura yang menang dan Indonesia kalah tamatlah riwayat Andik dkk. Seri sudah cukup bagi Andik dkk, tapi kalau bisa menang itu bonus.

Melihat perkembangan terkini terkait duel Malaysia kontra Indonesia tersebut muncul berbagai provokasi yang menyeret hal ini bukan hanya soal sepakbola. Di negeri ini hal yang berkaitan dengan Malaysia akan mudah menyulut sentimen yang berlebihan. Padahal setahu saya duel Indonesia lawan Malaysia di tahun 90an terasa biasa biasa saja seperti lawan negara lain. Kondisi berubah sejak era Reformasi yang ditandai dengan terbukanya arus informasi. Kalau saya tidak salah , tensi panas tersebut dimulai pasca kalahnya Pemerintah Indonesia oleh Pemerintah Malaysia di Mahkamah Internasional dalam sengketa kepemilikan dua pulau Sipadan dan Ligidan di perbatasan pesisir timur Kalimantan. Sejatinya secara hukum Internasional ke dua pulau tersebut belum jadi milik Indonesia sebelumnya tapi oleh politisi dan media narasinya adalah Malaysia mencaplok dua wilayah tersebut. Dan akhirnya dalam benak rakyat Indonesia pun begitu juga imej yang terbentuk. Dan beberapa bulan setelah kejadian tersebut berlangsung Piala Tiger 2002 ( kemudia n menjadi AFF Cup ) di Jakarta dan inilah partai pertama Indonesia kontra Malaysia yang diliputi sentimen itu. Media Indonesia mengambil judul yang cenderung menaikkan tensi dengan mengaitkan isu Sipadan dan Ligidan. Tandukan tunggal Bambang Pamungkas berhasil memuaskan publik Indonesia dan media Indonesia menggambarkan tersebut sebagai imbalan atas lepasnya dua pulau tersebut walau akhirnya keperkasaan Gajah Putih Thailand menghentikan pesta sang tuan rumah.

Sesudah itu hubungan perbatasan dua negara kembali memanas dengan upaya sepihak Pemerintah Malaysia menarik garis batas baru sebagai efek dari masuknya Sipadan dan Ligidan ke wilayah mereka. Mereka mangklaim perairan Ambalat sebagai wilayahnya dan menyerahkan konsesi explorasi migas ke Shell perusahaan asal Belanda. Pemerintah RI protes dan rakyat Indonesia pun meradang dan menyikapi dengan demontrasi diberbagai daerah bahkan ada politisi yang menggelorakan ‘Ganyang Malaysia’ dan mengungkit era Konfrontasi di tahun 60an. Disusul kemudian isu klaim budaya , perlakuan TKI, penganiayaan wasit karate hingga penangkapan petugas dinas kelautan RI oleh polisi Malaysia. Bahkan urusan rumah tangga Manohara pun diangkat sebagai penyedap rasa sentimen terhadap Malaysia. Citra Malaysia di Indonesia pada periode itu semakin diperburuk dengan serangkaian peristiwa terror yang didalangi oleh Noordin Top dan dr.Azahari , dua WN Malaysia. Jadi apapun berita negative di Malaysia akan menjadi komoditas jualan media yang laris manis. Termasuk ke dalam olahraga termasuk sepakbola . Selalu saja ada upaya menyeret hal diluar olahraga untuk menaikkan tensi. Akhirnya lahir ungkapan ini “ boleh kalah asal jangan kalah dengan Malaysia “. Dan Malaysia pun mendapat gelar baru sebagai ‘ musuh bebuyutan ‘ cenderung karena faktor diluar teknis sepakbola .

Dalam sepakbola duniapun ada beberapa pertandingan yang diwarnai tensi diluar faktor sepakbola. Pertemuan antara Belanda dan Jerman sebelum tahun 90an selalu diwarnai luka lama warga Belanda pada masa perang dunia kedua dimana kota Amsterdam dan kota lainnya dihanguskan pasukan Nazi meski sudah menyerah. Kemenangan Ruud Gullit dkk atas Jerman ( masih Jerman Barat ) di final Piala Eropa 1988 sekaligus membayar lunas kegagalan Johan Cruijf dkk di final piala dunia 1974 yang juga lawan Jerman ( barat ). Kemudian pertemuan Inggris kontra Argentina di tahun 80an dan 90an selalu dibayang bayangi aura perang Malvinas ( Falkland ) yang terjadi tahun 1983 dimana kedigdayaan Angkatan Laut Inggris memaksa Argentina takluk dan menyerahkan kepulauan Malvinas ke Britania Raya. Publik Argentina pun merasa terbalaskan ketika Diego Maradona membuat gol tangan Tuhan dan dan gol kaki setan (hehe ..ini versi saya ) ketika dia melewati lima pemain Inggris dari tengah lapangan sebelum menaklukkan Peter Shilton di perempat finalPiala Dunia 86 di Mexico. Rakyat Argentina merasa itu bukan hanya kemenangan sepakbola tapi kemenangan politis. Seperti juga kemenagan Ali Daei dkk atas Amerika Serikat di Piala Dunia 1998. Publik Iranpun merasa itu kemenangan atas musuh politisnya. Tahukah anda ada perang yang dipicu oleh pertandingan sepakbola walau akar masalahnya tentang sengketa wilayah. Ya, perang antara Honduras dan tetangganya El Savador di Amerika Tengah tersebut berlangsung 4 hari dan menewaskan sekitar 3000 orang yang dipicu oleh perkelahian antara supporter dua negara dalam Pra Piala Dunia Mexico 70 pada tahun 1969. Memang hubungan kedua negara sudah panas sebelumnya hingga pecah perang tepat setelah perkelahian di stadion. Sejarah dunia mencatat itu sebagai ‘ Football War’ ‘.

Dalam skala yang lebih kecil itulah yang terjadipada setiap laga Indonesia kontra Malaysia . Pada Piala AFF Cup 2010 lalu publik Indonesia sempat mengalami efouria yang dahsyat ketika Firman Utina dkk ‘ mempelasah ‘ Malaysia 5 – 1 di partai pembuka. Teror dari publik Senayan benar benar merontokkan nyali pemain Malaysia. Namun ketika pemain Indonesia mendadak jadi selebriti dan over confidentmenjadi boomerang di partai final. Harimau Malaya membayar perlakuan teror publik Senayan dengan mencabik Garuda di Bukit Jalil dengan tiga gol tanpa balas. Dan Mereka hanya menyisakan hiburan kecil di final kedua bagi publik Senayan yang meneror mereka. Teror yang tidak berhenti hingga Barracuda milik Polri menyelamatkan mereka. Lalu Sea Games tahun lalu Garuda Muda berkesempatan membalas dendam ke Harimau Muda. Namun apa daya justru malah dua kali dipecundangi. Teror yang luar biasa dari supporter dengan mengolok olok lagu kebangsaan Malaysia justru bisa diubah pelatih Malaysia , Ong Swee Kim menjadi kata kata motivasi yang membakar pemain Malaysia untuk membungkam publik Senayan. Publik Indonesia pun kembali gigit jari.

Tensipertandingan dua kesebelasn makin panas sejak difasilitasi oleh social media dan media on line. Praktis dalam beberapa hari ini terjadi ‘Cyber War’ antara kedua supporter menggila dan cenderung tidak sehat dan provokatif. Saya lebih salut dengan upaya dua stasiun radio di Jakarta dan KL yang bertaruh pada final Sea Games tahun lalu. Mereka bertaruh jika Malaysia menang maka stasiun radio di Jakarta itu harus memutar lagu Malaysia 24 jam dan juga begitu sebaliknya. So, sebaiknya hentikan itu provokasi dan walau ada prestise yang dipertaruhkan , bagaimanapun ini hanya permainan yang ditentukan oleh 22 pemain dalam 2 x 45 menit yang ada tiga kemungkinan menang, kalah dan seri. ‘ Respect ‘ adalah nilai yang dikumandangkan FIFA kini yang kurang lebih salah satunya kita juga harus menghormati lawan. Itulah sportivitas. At all, this is just a gamedude ! So, enjoy it……

Salam Olahraga,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun