Mohon tunggu...
Busri Toha
Busri Toha Mohon Tunggu... -

Lebih baik berbuat sesuatu yang berharga sekecil apapun, dari pada tidak sama sekali.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Labirin KH A. Warits Ilyas

26 Februari 2014   08:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:27 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1393354982109729903

KEPERGIAN ulama kharismatik Drs. K.H. A. Warits Ilyas, benar-benar telah membuat ribuan santri Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, merasa kehilangan. Bahkan, ribuan alumni dan masyarakat Madura berduka. Mereka berbondong-bondang datang untuk mengantarkan janazah salah satu pengasuh pesantren yang didirikan tahun 1887 oleh Kiai Muhammad Syarqawi dari Kudus itu.

Ketika saya tiba di Annuqayah, saya tidak kuasa menahan air mata. Saya hanya duduk bersimpuh di sebelah janazah K.H. A. Warits Ilyas. Orang-orang yang mau shalat janazah melihat saya seakan kaku. Tetapi, dari matanya terlihat memerah. Mungkin saja juga tidak kuat menahan air mata.

”Abah meninggal dunia berkisar pukul 09.34 (22/2) di ruang ICU Rumah Sakit Pamekasan,” kata Kiai Moh. ’Ali Fikri, putra almarhum K.H A. Warist Ilyas.

Di sebelah janazah beliau, saya seakan kembali berkomunikasi dengan tokoh yang mendidik, membesarkan dan merawat saya dan ribuan santri lain sejak 1996-2007. Saya menjadi ingat saat pertama saya dipercaya menjadi wartawan di salah satu media di Madura pada tahun 2008, saya langsung sowan pada tokoh yang dikenal dengan istiqomah itu.

Alhamdulillah, kalau jadi wartawan, harus rajin menulis ya. Rajin menulis, menulis, menulis dan menulis,” begitulah petuah almarhum yang tetap terngiang di telinga dengan diucapkan berulang-ulang. Kala itu, saya bicara tentang media lokal hingga nasional. Mantan anggota MPR RI itu memiliki pengetahuan cukup luas tentang media massa.

Seiring berjalannya waktu, saya tetap menjalin komunikasi dengan almarhum. Baik sebagai santri maupun sebagai alumni yang menjadi wartawan. Suatu kesempatan, dalam momentum pemilihan bupati dan wakil bupati mendekati. Saya sowan kepada almarhum K.H. A. Warist Ilyas. Sebab, beredar isu di kalangan santri dan masyarakat umum bahwa K.H. A. Warits Ilyas akan maju sebagai Bupati Sumenep.

Namun, pada kesempatan langka ini, saya bertanya langsung kepada almarhum tentang informasi tersebut. Jawaban K.H. A. Warist sungguh di luar dugaan saya. Ini akan menjadi pelajaran bagi semua pemimpin sekarang. Dengan penuh senyum, alhmarhum memberikan jawaban yang sangat logis dan mengagumkan.

”Menjadi pemimpin itu bukan sekedar kata. Tetapi amanah, amanah, amanah (diucapkan berulang-ulang). Memang banyak yang meminta saya maju (menjadi bupati). Cuma saya bilang, kesehatan fisik sudah tidak memungkinkan. Menjadi pemimpin itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Jabatan bupati bukan main-main,” kata beliau.

Tanpa terasa, perbincangan di hari Jumat itu, sudah berlangsung lebih dari 4 jam. Kini, setelah beliau menghadap kepada sang penguasa alam, Allah, kita tinggal melaksanakan amanah dan ajaran yang pernah ditanamkan. Kita barangkali berduka, tetapi akan lebih terhormat ketika ajaran kebaikan yang pernah beliau ajarkan, diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Inilah kemudian mengingatkan saya juga pada perbincangan dengan salah satu staff anggota DPRD Sumenep. Saya sempat bertanya tentang almarhum K.H. A. Warist Ilyas. Katanya, sampai hari ini masih belum ada anggota dewan yang bisa meniru kedisiplinan mantan ketua DPC PPP tersebut. Ketika datang ke gedung dewan, pasti tepat waktu dan pulang pun tepat waktu.

Pernah, ada demo besar-besaran ke gedung dewan. Sebagai wakil ketua DPRD, yang dikenal disiplin itu, almarhum harus menemui sang demonstran. Menariknya, demonstran yang mulanya marah-marah, tiba-tiba saat K.H. A. Warits Ilyas menemui, semua demonstran menjadi diam dan langsung bersalaman mencium tangan almarhum.

Emosi massa menjadi terkendali. Barangkali, semua demonstran merasa takut. Apalagi, K.H. A. Warist yang dikenal banyak kalangan itu, tidak pernah memanfaatkan fasilitas negara demi kepentingan pribadi. Dia adalah tokoh yang tidak gampang memanfaatkan fasilitas negara. Tidak mudah memanfaatkan kesempatan karena sedang menjadi anggota dewan yang kemudian memanfaatkan segala yang ada.

Suatu ketika, beliau memiliki kepentingan ke Pasar Anom Sumenep. Jarak antara pasar dengan gedung dewan, tak terlalu jauh. Sebagai wakil ketua DPRD, tentu saja fasilitas berupa mobil dinas plus supirnya sudah ada dan siap berangkat kapanpun dibutuhkan oleh Kiai. Namun, lagi-lagi, beliau tidak memanfaatkan kesempatan itu.

Konon, kiai langsung menyuruh sopirnya ke Annuqayah, jarak Annuqayah-Kota Sumenep berkisar 40 km, untuk menjemput mobil di kediamannya untuk kepentingan pergi ke pasar. Beliau tidak berkenan menggunakan mobil plat merah ke pasar karena kepentingan pribadi bukan kepentingan kantor. Mobil dinas yang diletakkan di halaman parkir dewan tidak digunakan untuk kepentingan pribadi.

Saya kemudian menjadi teringat dengan kisah Khalifah Umar bin Khattab R.A. Menurut kisah yang saya tahu, suatu ketika khalifah kedatangan salah seorang tamu. Namun, sebelum tamu tersebut berbicara panjang lebar, Khalifah terlebih dahulu menanyakan maksud kedatangan tamu tersebut.

”Apa maksud kunjungan anda ke sini? untuk keperluan negara atau pribadi? Sesuai dengan niatan si tamu itu, maka menjawab, ”Aku ingin berbicara mengenai hal pribadi kepadamu ya Amirul Mukminin,” kata tamu tadi.

Setelah mendapatkan jawaban itu, Khalifah Umar langsung mematikan lampu. Setelah dimatikan, tentu saja ruangan sang Khalifah menjadi gelap karena tidak ada lampu penerang. Tamu tadi heran dan kaget. Lalu Umar berkata, ”Kamu datang ke sini untuk berbicara masalah pribadi denganku, sementara saat kamu datang aku sedang bekerja untuk kepentingan negara dan minyak dari lampu ini adalah milik negara. Aku tidak pantas menggunakannya untuk kepentingan pribadiku,” jelas Umar kepada sang tamu.

Barangkali ini berbeda dengan pejabat dan politisi saat ini. Bahkan, yang terjadi sebalikannya, fasilitas negara dimanfaatkan sebaik mungkin demi kepentingan pribadi. Lebih parah, fasilitas negara justru masih dikorupsi dan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Alasannya, mumpung masih menjadi pejabat, jika tidak menjadi pejabat tidak mungkin akan memanfaatkan fasilitas negara. Bahkan, tidak sedikit kita menjumpai mobil dinas berada di tempat wisata ketika hari aktif maupun di luar hari libur. Mereka bersama keluarga besar.

Ya, saya sebagai masyarakat kecil tidak bisa berbuat apa-apa. Jika harus menegur mereka, tentu tidak akan diindahkan. Jangankan saya, undang-undang saja yang telah melarang tidak diperhatikan, apalagi saya.

Akhirnya, kita semua hanya berharap semoga pejabat negara dan politisi (minimal) bisa meniru akhlak tokoh kharismatik itu. Serban keistiqomahan akan menjadi pelajaran yang akan terus dikenang dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selamat jalan K.H. A. Warist Ilyas. Semoga amal ibadah beliau diterima Allah dan diberikan tempat terbaik disisi-Nya. Amin. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun