Tema filantropi sebagai sesuatu yang tereksploitasi menjadi alat kapitalisme dalam mempertahankan eksistensinya menjadi kajian kontemporer dalam perspektif sosiologi filantropi di Indonesia. Salah satu upaya kapitalisme mempertahankan trust di kalangan masyarakat golongan ‘menengah’ adalah dengan cara hegemoni ke dalam kegiatan filantropi melalui lembaga-lembaga filantropi yang ada atau yang memang sengaja dibentuk oleh mereka.
Spirit Filantropi Sosial
Substansi filantropi sosial adalah memberi dan membagi oleh orang berpunya kepada orang yang ‘tidak’. Sebagai sebuah gerakan sosial, filantropi telah mengalami metamorfosis menarik. Perkembangannya melompati gagasan dasarnya; dari moralitas dan kemanusiaan, menuju ruang baru bernama investasi sosial dan politik. Sebagaimana lazimnya, setiap investasi di ujungnya adalah kapitalisasi. Kapitalisasi dalam kalkulator ekonomi adalah pelipatgandaan, maksimalisasi atau optimalisasi output dengan input yang sekecil mungkin.
Perubahan sosial ikut berpengaruh pada pola gerakan filantropi. Pada waktu lalu, kaum filantrop adalah para tuan tanah, bangsawan berdarah biru, pelopor agama, dan elit yang dihormati. Beda dengan para filantrop abad ini, mereka pada umumnya adalah kalangan OKB (orang kaya baru) yang tumbuh dengan ideologi transaksional. Sebuah gaya hidup yang berakar pada kalkulasi untung-rugi, dan menang-kalah.
Parahnya lagi, para OKB yang menjadi filantropis masa kini adalah mereka yang memiliki harta banyak, tetapi bersumber dari sesuatu yang tidak jelas, sumber-sumber kekayaan mereka tidak accountable. Bahkan bisa jadi, gerakan filantropis dilakukan dengan harta yang bersumber dari korupsi. Profesi mereka juga carut marut, mereka sebelumnya berprofesi sebagai peneliti/pengajar tiba-tiba menjadi politisi, lalu menjadi pengusaha, dan yang lebih parah mereka menjadi pengusaha sekaligus politisi.
Hegemoni Kapitalisme
Spirit kapitalisme dalam berbagai wujud terlanggengkan melalui strategi hegemoni. Hegemoni dimaksud Gramsci sebagai peran kepemimpinan intelektual dan moral untuk menciptakan ide-ide dominan. Dengan begitu, relasi kekuasaan dan dominasi menjadi tidak kentara, dominasi yang ada tertutupi oleh kekuasaan yang bekerja secara halus melalui representasi simbol-simbol.
Spirit filantropi modern terindikasi menjadi alat perpanjangan tangan kapitalisme yang menampakkan sisi humanisnya sekaligus sebagai salah satu alat melanggengkan dominasinya. Filantropi dianggap melegitimasi berlangsungnya sistem ekonomi yang memberikan keuntungan ganda. Keuntungan pertama, memberi wajah humanis yang memungkinkan penguasaan kekayaan pada segelintir orang dengan cara mengembalikan sebagian keuntungannya kepada masyarakat. Kedua, memberikan peluang para pelakunya untuk mendapatkan profit finansial lebih besar lagi, melalui strategi pemasaran humanis.
Krisis finansial berskala global dewasa ini menurut Latief (2009) menunjukkan kapitalisme penuh kontradiksi internal dan rapuh, sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh Karl Marx lebih dari satu abad yang lalu. Krisis ini sendiri sekaligus membuka selubung kerangka institusional yang menjadi ‘kembaran alamiah’ kapitalisme; demokrasi liberal. Atas dasar itu, demokrasi liberal mulai digugat justru karena ia telah memfasilitasi dan memberikan kerangka kelembagaan bagi tumbuh dan berkembangnya kapitalisme yang dinilai melahirkan ketidakadilan sosial. Masalah mendasar dari krisis ekonomi dewasa ini bukan berkisar tentang masa depan kapitalisme, karena dia sudah barang tentu menemukan format baru dalam bentuk evolusioner baru yang sangat berbeda untuk tetap eksis.
Harus diakui, kapitalisme memiliki wajah ganda. Di samping mendatangkan berbagai macam akibat buruk kepada miliaran umat manusia seperti yang disinyalir Peter L. Berger, para kapitalis juga sadar betul bahwa tanpa tanggung jawab sosial maka keuntungan hanyalah ilusi yang lambat laun akan hilang dengan sendirinya karena produk-produk mereka dijauhi oleh konsumen. Pembangunan dalam kerangka kapitalisme, gugat Berger, ternyata memakan korban yang luar biasa mencengangkan.
Meskipun, dalam perjalanannya terjadi perubahan sikap Berger dari ilmuwan yang sangat kritis terhadap kapitalisme menjadi ideologi yang sangat pro. Dalam karyanya Revolusi Kapitalis yang banyak menuai kritik, Berger menunjukkan kompatibilitas antara kapitalisme dan perkembangan demokrasi. Hanya kapitalisme yang memberikan jalan lapang bagi perbaikan kondisi hidup manusia. Berbeda dengan pandangan sebelumnya, Berger melihat kapitalisme sebagai proyek pemanusiaan.
Adakah Jalan Tengah?
Marx baru separuh benar, ketika dia berangan-angan bahwa kapitalisme akan runtuh akibat kontradiksi internal. Namun, hingga kini, nisan kapitalisme masih belum juga terpasang kendati krisis ekonomi terus berulang menghantam. Meskipun krisis dunia dewasa ini adalah sebuah crisis of capitalism, tetapi bukan sesuatu yang akan menumbangkan kapitalisme dalam arti luas.
Spirit filantropi dan spirit kapitalisme tampak mustahil disatukan, hampir sama mustahilnya menyatukan kapitalisme dan sosialisme.  Namun, Anthony Giddens telah menunjukkan dua ekstrim filsafat ini bisa menjadi satu tanpa saling menghancurkan satu sama lain melalui ‘Jalan Ketiga’. Kalau Giddens bisa menggagas Jalan Ketiga, mengapa kapitalisme dan filantropi harus mustahil? Selebihnya, Wallahu A'lam Bishawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H