Anto dan Budi duduk bersebelahan saat ujian bahasa Inggris. Nilainya sama-sama 10. Guru curiga ada yang menyontek. Anto dan Budi dipanggil. Mereka berdua sama-sama mengatakan yang lain telah menyontek jawaban ujiannya. Siapa yang menyontek siapa ? Budi di kelas lebih pintar berbahasa dan mengarang dalam bahasa Inggris. Secara logika gurunya tahu siapa yang berbohong. Tetapi karena pertimbangan 1 dan 2 hal guru tidak mau memutuskan siapa yang bersalah. Nanti akan diputuskan oleh kepala sekolah. Masalahnya, Anto adalah anak dari kepala yayasan sekolah tersebut. Budi sedih, mengapa gurunya masih tidak bisa melihat siapa yang sudah jelas berbohong. Anto bersorak hatinya, “ hahaha saya sudah berhasil membuat guru bingung. “ Sebenarnya siapa yang diuntungkan oleh guru yang ‘netral’ ?
Agus dan Bimo bersaing untuk menwakili sekolahnya bertanding di kejuaraan nasional Salah satu poin yang dinilai adalah matematika dan bahasa Inggris. Matematika mereka berdua seimbang, tetapi score TOEFL Bimo lebih baik. Biasanya untuk tes bahasa Inggris, score TOEFL yang dijadikan acuan. Tetapi tiba-tiba ada intervensi, bahwa acuan untuk tes Inggris adalah versi yang digunakan oleh tempat les bahasa Agus, yang menyatakan Agus adalah siswa terbaik versi lembaga les tersebut. Pihak sekolah tidak bisa memutuskan siapa yang berhak menwakili sekolah, Agus atau Bimo. Harus melalui keputusan kepala sekolah. Masalahnya Agus adalah keponakan ketua yayasan sekolah tersebut. Bimo gundah hatinya, apakah kepsek akan bersikap adil ? Agus bersorak, “yes … kesempatan menang saya besar.” Siapa yang diuntungkan oleh pihak sekolah yang bingung ?
Analogi cerita tersebut mirip perhelatan pemilihan presiden kita. 1 pihak melakukan cara-cara apa saja halal maupun tidak halal untuk mencapai tujuannya. Mulai dari politik uang, kampanye-kampanye hitam dan fitnah yang tidak berdasarkan fakta atau memutarbalikan fakta, dan cara-cara tidak terpuji lainnya untuk menjatuhkan lawan. Sementara pihak yang lain lebih menempuh cara-cara positif dan sebagian kampanye negatif yang memang ada dasar faktanya untuk memikat pemilih. Ternyata setelah pesta demokrasi selesai dan sebenarnya sudah diketahui pemenangnya walaupun belum resmi, salah satu pihak terus menerus menjegal pihak lainnya dengan berbagai cara dan strategi kotor.
Kemudian ada pihak lain yang netral atau seolah-olah netral karena sepertinya tidak memihak siapa-siapa. Orang-orang netral ini baik menwakili institusi, lembaga maupun perorangan. Mereka secara logika dan nurani tahu siapa yang benar, siapa yang berbohong, tetapi seperti guru dan pihak sekolah, mereka tidak mau bersuara sesuai nalar dan hati nurani-nya. Pihak mana yang diuntungkan oleh orang-orang ‘netral’ tersebut ?
Pihak yang berbohong itu apa bedanya dengan seorang dokter yang melakukan malpraktek, yang asal melakukan diagnosis dan tindakan atas pertimbangan keuntungan pribadinya ; seorang penjual obat yang menjual obat palsu ; seorang salesman yang berlebihan mengatakan produknya lebih baik padahal tahu produk pesaing jauh lebih menguntungkan customer-nya ; seorang penipu investasi ; seorang suami yang mengatakan dirinya bujangan kepada gadis yang diincarnya ; seorang koruptor ; seorang pengacara yang tetap membela klien yang dia tahu bersalah ; seorang yang menjiplak hasil karya orang lain dan menklaim sebagai hasil kreasinya ; dsb-nya.
Apakah orang-orang tersebut tidak takut dosa ? tidak takut amuk Allah ? mereka berpikir akan hidup selamanya di bumi ? Mereka tidak takut tiba-tiba dipanggil Allah ? Mereka tidak takut akibat perbuatannya pada keluarganya, orang-orang yang mencintai dan dicintainya ? ‘Legacy’ peninggalan apa yang ingin diwariskan ke anak cucu, apakah harta haram dari hasil perbuatannya ? Apakah anak cucunya akan bangga seandainya mereka tahu semuanya ? Apakah mereka pikir pasti masih ada waktu untuk mohon ampun kepada Yang Kuasa ? Apakah mereka pikir Tuhan itu lagi cuti atau tidur ?
Jika pihak ini yang menang, pesan buruk bagi demokrasi dan kehidupan berbangsa. Tidak ada lagi halal atau tidak. Segala hal bisa. Mungkin Tuhan memang sedang tidur atau cuti dari bangsa dan negara ini.
Untuk orang-orang ‘netral’ ini adalah ujian. Tahukan Anda dengan bersikap ‘netral’ sebenarnya Anda sudah memihak yang tidak benar. Dengarkan suara hati nurani Anda, perkeras volumenya. Keputusan Anda menentukan kemana bangsa ini berjalan? Apakah akan mundur jauh ke belakang lagi atau mantap melangkah ke depan. Keputusan Anda mempengaruhi hidup anak cucu Anda, generasi bangsa Indonesia berikutnya. Anda adalah salah satu penentu nasib bangsa. Jangan sampai Anda akhirnya menyerah dan sama seperti pihak yang Anda tahu salah. Jika itu terjadi apa bedanya Anda dengan mereka. Ingat semua mata tertuju pada Anda. Bersikaplah bijaksana. Minta pertolongan Tuhan.
Untuk pihak Budi dan Bimo, tetaplah positif dan bekerja keras dengan benar. Berdoalah minta bantuan Tuhan. Tuhan tolong jangan tidur atau cuti dari bangsa dan negara kami. Tumbuhkan rasa cinta bangsa dan tanah air jauh melebihi cinta kepada kelompok. Tolong Indonesia Tuhan.
Burung pipit
Pemerhati Kehidupan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H