[caption id="attachment_235489" align="alignleft" width="300" caption="Mas Arief dan Anaknya"][/caption] Untuk menjadi aktivis anti korupsi, kolusi dan nepotisme, rasanya tidak perlu lah menjadi anggota KPK atau ICW. Menjadi karyawan biasa seperti kakak saya, Mas Arief pun bisa. Yang diperlukan hanya komitmen pada idealisme bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme dapat dibasmi jika mulai dari hal yang kecil dahulu. Dari kecil Mas Arief memang tidak mau bernepotisme dalam arti negatif. Saya masih ingat ketika saya kelas 2 SMP, saya ikut kursus menyelam kebetulan kakak saya ini senior saya di club diving tersebut. Tetapi selama kursus diving tidak pernah sekalipun dia menolong saya mengangkat tank-tank udara yang beratnya minta ampun. Walaupun di angkatan tersebut saya perempuan sendiri, namuan tak sekalipun dia membantu saya meskipun itu hanya menarik saya naik ke atas boat, ketika diving di laut. Dulu saya merasa menyebalkan sekali kakak saya semata wayang ini tetapi setelah dewasa saya menyadari bahwa apa yang dia lakukan sadar atau tidak sadar mengajarkan saya untuk tidak bernepotisme, syukur kalau hasilnya bagus kalau hasilnnya jelak kan malah membaut semua runyam. Sampai dewasa pun dan punya anak dua pun kakak saya tak pernah kehilangan idealismenya dalam berperang dengan budaya korupsi. Kebetulan kakak saya ini bekerja pada sebuah perusahaan methanol di Kalimatan Timur. Di tempat dia bekerja, Mas Arief walaupn bukan pemberi keputusan yang utama namun sarannya selalu dipertimbangkan dalam pembelian barang atau peralatan pabrik. Sebuah posisi yang sebenarnya bisa "bermain" dengan para vendor. Namun ternyata Mas Arief tetap berpegang pada prinsip yang dia perjuangkan ketika Gerakan Reformasi 99, bahwa dia tidak ingin ada "permainan" yang dapat merugikan perusahaan. Layaknya pribahasa "ada gula ada semut" maka kakak saya pun dikerubungi oleh vendor-vendor. Mereka pun tak segan menawarkan "dagangan" mereka plus "bonus-bonus" yang menggiurkan jika kakak saya mau menyetujui pembelian barang atau alat dari mereka. Namun kakak saya tak pernah peduli pada itu semua. Sulung dari empat bersaudara ini hanya menyetujui pembelian barang atau alat jika perusahaan tempat dia bekerja memang membutuhkan, kualitasnya bagus dan dengan harga yang masuk akal. Tak jarang wakil-wakil vendor itu memburu kakak saya sampai ke rumah. Sampai-sampai Ibu saya suka kasihan melihat mereka mengejar-ngejar kakak saya dan menerima mereka di rumah kami. Namun secara halus maupun kasar kakak saya akan mengusir mereka, begitu juga jika mereka menelepon ke rumah, kakak saya tidak mau menerimanya. Kalau sudah begitu, Ibu saya suka ditinggalkan "buah tangan" oleh para vendor. Sempat beberapa kali Ibu saya menerima buah tangan amplop coklat yang sudah berbentuk kamus Inggris-Indonesia John Echols, yang isinya pasti berupa uang. Namun buah tangan tersebut langsung dikembalikan kepada vendor-vendor tersebut oleh Mas Arief tanpa pernah membuka isinya. Selain karyawan, Mas Arief juga seorang dosen di sebuah Universitas swasta di kota asal kami. Kebetulan kebanyakan mahasiswanya adalah orang-orang yang tidak ingin menuntut ilmu namun hanya mencari gelar untuk kenaikan pangkat. Dengan tipe orang seperti ini yang biasanya sudah berumur pun kakak saya tidak kenal ampun. Saya rasa, Mas Arief tidak mengenal istilah yang namanya mendingkrak nilai. Sehingga banyak mahasiswanya yang harus mengambil beberapa kali mata kuliah yang diajarkan. Kebetulan juga mahasiswanya Mas Arief banyak yang mengenal Ibu saya, bahkan beberapa merupkan rekan kerja Ibu saya ketika Ibu saya masih aktif bekerja. Rekan-rekan kerja Ibu saya ini sebenarnya sudah mengenal kakak saya dari kecil, sehingga mereka pun berusaha membujuk kakak saya melalui Ibu saya dengan harapan jika Ibu saya yang meminta kakak saya akan mengabulkannya. Ternyata Mas Arief tetap berpegang pada keteguhan hatinya, tidak ada istilah "dongkrak nilai", siapapun itu. Jika saya tanya mengapa dia begitu berpegang teguh pada prinsipnya itu, Mas Arief bukan dosa yang dia takutkan, namun jika pada suatu hari hasil dari korupsi, kolusi dan nepotismenya merugikan orang banyak, itu yang dia takutkan. Mungkin kakak saya termakan prinsip kejawen Bapak saya, lakukan apa yang ingin dilakukan asal jangan merugikan orang. Prinsip yang sangat sederhana namun amat berhasil membuat kakak saya berpegang teguh pada prinsipnya. .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H