Mohon tunggu...
Noni Nandini
Noni Nandini Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lahir di Jakarta, tumbuh di Kalimantan Timur, kuliah di Yogyakarta dan Solo, kerja di Jakarta.....(Koes Plus banget yah....) hobi membaca, menulis, nonton tv dan film, berenang dan koleksi. Tertarik dengan diving (khususnya untuk hura-hura walaupun sudah kursus diving beberapa kali), sailing (walaupun kalau ikutan regatta dapet bobbi price terus), Jepang, Korea, Manga, Dorama, Film Korea dan Jepang, cerita detektif, misteri, dokumenter dan travelling (walaupun masih sebatas pulang kampung dan sekitar Jakarta).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar Dari Serial Dong Yi ("Menjual" Budaya Ala Korea)

5 Juli 2011   18:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:54 2716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13098912601795282379

[caption id="attachment_117773" align="aligncenter" width="490" caption="Serial Dong Yi"][/caption] Mungkin serial Korea yang paling trend di Indonesia saat ini adalah Dong Yi yang ditayangkan Indosiar setiap siang.  Mungkin banyak juga tidak tahu Dong Yi serial menye-menye Korea mana lagi yah.  Serial Korea kali ini menurut saya jauh dari kesan menye-menye ataupun jatuh cinta ala jinak-jinak merpati Lee Min Ho.  Serial kali ini lebih bertema emansipasi perempuan Korea walaupun tidak terang-terangan. Judul Dong Yi sendiri diambil dari nama salah seorang selir Raja Korea pada abad 17.  Latar belakang DongYi yang berasal dari strata sosial paling rendah pada masa itu tidak membuat Dong Yi mundur untuk belajar, bahkan dia bisa membaca dan menulis huruf Cina, sesuatu yang amat luar biasa bagi seorang sekelas budak.  Karena kepintarannya, dia pun diangkat menjadi salah seorang selir Raja Sukjong, dengan gelar Selir Kerajaan Suk. Cerita yang sebenarnya familiar dalam budaya Indonesia tentang perebutan cinta seorang raja, gelar ratu dan juga intrik memperebutkan kekuasaan.  Namun Korea berhasil mengemasnya dengan begitu menarik dalam serial 60 episode ini. Dari episode ke episode, tanpa sadar Korea sudah menjual "budaya"-nya kepada kita.  Kita bisa melihat baju tradisional Korea yang dipakai para perempuan pada masa itu, berupa rok panjang mengembang dengan atasan balero pendek untuk rakyat biasa, kita juga dapat mengetahui busana yang dikenakan perempuan sekelas Ratu, yang memakai atasan yang bisa menutupi tangannya dan bawahan panjang mengembang.  Bahkan kita ditunjukan bagaimana cara seorang budak, selir, dayang sampai Ibu suri menyanggul rambutnya. Sedangkan untuk pria, kita jadi mengenal pakaian kaum terpelajar berbeda dengan pegawai Istana, menteri bahkan raja.  Yang menariknya lagi kita bisa mengetahui bahwa hiasan naga hanya bisa digunakan pada busana-busana Raja. Masih banyak lagi yang ditunjukan dalam serial ini, seperti bagaimana tata cara makan Istan sampai tari-tarian dan alat musik tradisional pun ikut "dijual" dalam cerita ini. Setiap kali saya menonton serial ini (bahkan saya punya DVD bajakannya di rumah), terselip rasa iri terhadap Bangsa Korea.  Bayangkan era kerajaan mereka sudah "mati" bersamaan penjajahan Jepang di Korean pada tahun 1925.  Lalu mereka "diracuni" Jepang untuk menguasai budaya Negeri Matahari Terbit tersebut.  Setelah itu Korea harus menghadapi perang saudara yang puncaknya terjadi pada tahun 1952 - 1955 yang akhirnya memecah negeri Ginseng ini menjadi Korea Utara dan Korea Selatan. Belum lagi campur tangan Amerika Serikat, yang akhirnya membuat mereka terpaksa menerima tentara Amerika Serikat menjadi pemandangan sehari-hari. Namun semangat mereka untuk memelihara budaya tinggi bahkan mereka mampu menjual budaya mereka sampai ke Indonesia.  Mau bukti, istilah kerennya untuk mengucapkan selamat berjuang saja sekarang berubah menjadi "Caiyo".  Atau coba anda taruh gambar pakaian tradisional Korea, pasti banyak yang bisa menebak itu pakaian tradisional Korea.  Belum lagi kita bisa mengetahui istilah kuliner Korea seperti Kimchi dan Bulgogi. Andai saja Indonesia bisa menghasilkan serial-serial seperti Dong Yi, kita pasti bisa menjual budaya kita lebih baik lagi.  Mungkin juga industri pariwisata kita bisa seperti Korea yang menjual paket mengunjungi lokasi syuting.  Padahal cerita seperti Dong Yi, bisa kita dapatkan seperti di Keraton-Keraton.  Bahkan saya pernah membaca sebuah skripsi di Perpustakaan Fisipol UGM, yang menuliskan bahwa kain batik pun digunakan untuk memikat dan menuliskan rayuan kepada Sang Sultan.  Jadi bisa dibayangkan bahwa intrik-intrik para selir dan istri Raja-Raja di Indonesia tak kalah hebohnya dengan Korea. Selain itu kita juga bisa memperkenalkan pakaian-pakaian tradisional, tarian bahkan kuliner khas bangsawan, seperti pada serial Dong Yi.  Sehingga ke depannya kita bisa meningkatkan industri pariwisata kita dengan menjual paket-paket ala bangsawan. Yah mudah-mudahan Dong Yi tidak menjadi sekedar tontonan, tapi juga menjadi inspirasi negara ini, bahwa kita harus memperkenalkan budaya Indonesia yang konon kabarnya indah, tinggi, ramah dan bermacam-macam, bukan hanya budaya hedonisme, perempuan Indo, mata melotot, suara tinggi, pukul-pukulan, sadis, tidak masuk aka, anak sekolah pakai seragam tidak beres dan masih banyak lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun