Mohon tunggu...
Noni Nandini
Noni Nandini Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lahir di Jakarta, tumbuh di Kalimantan Timur, kuliah di Yogyakarta dan Solo, kerja di Jakarta.....(Koes Plus banget yah....) hobi membaca, menulis, nonton tv dan film, berenang dan koleksi. Tertarik dengan diving (khususnya untuk hura-hura walaupun sudah kursus diving beberapa kali), sailing (walaupun kalau ikutan regatta dapet bobbi price terus), Jepang, Korea, Manga, Dorama, Film Korea dan Jepang, cerita detektif, misteri, dokumenter dan travelling (walaupun masih sebatas pulang kampung dan sekitar Jakarta).

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ketika Seorang Anak Sudah Membunuh....

21 Februari 2012   07:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:23 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tadi malam saya menonton berita TV tentang kunjungan KOMNAS HAM anak kepada Saiful, korban penusukan yang dilakukan oleh teman sekolahnya di Depok.

Ketika diwawancarai, Arist Merdeka Sirait mengharapkan agar AMN, bocah 13 tahun yang sudah menusuk temannya 8 kali itu tidak diadili sebagai orang dewasa, kalau perlu dia tidak akan menjalankan hukuman penjara namun dimasukan ke dalam panti sosial.

Bagi saya pernyataan Arist Merdeka Sirait tidak masuk ke akal saya.  AMN sudah melakukan hal yang menurut saya di luar akal sehal dan logika anak-anaknya.  Membunuh walaupun korbannya tidak sampai tewas adalah kejahatan dewasa yang seharusnya juga diadili dalam pengadilan dewasa.  Apalagi konon AMN sudah menyiapkan sebilah pisau dapur ketika mengajak Saiful bertemu dengannya.  Artinya bocah 13 tahun ini sudah merencanakan pembunuhan ini.

Coba kita bandingkan saja dengan Amerika Serikat dan Inggris, hukum disana mengharuskan anak-anak dibawah umur 18 tahun diadili sebagai orang dewasa jika mereka sudah melakukan pembunuhan, kejahatan seksual, kejahatan dengan kekerasan dan senjata api dan jika mereka sudah pernah melakukan kejahatan yang sama untuk yang kedua kali.

Christopher Frank Pittman, adalah salah satu bocah yang merasakan kerasnya pengadilan dewasa ketika masih berumur 12 tahun.  Tahun 2001, Pittman membunuh kedua kakek neneknya, Joe dan Joy Pittman dengan senapan Shotgun tanpa alasan yang jelas di Carolina Selatan.

Tahun 2005, Pittman diadili secara dewasa.  Pengacaranya menganggap Pittman tidak dapat membedakan benar atau salah karena over dosis obat anti deprese Zoloft yang saat itu masih dalam tahap eksperimen.  Sekaligus juga mengungkapkan latar belakang Pittman, yang mana Ibunya sudah dua kali melarikan diri dari keluarganya dan ayahnya yang suka memukul.

Setelah melalui pengadilan yang alot dan kontroversial akhirnya juri memutuskan bahwa Pittman bersalahatas tuduhan pembunuhan tingkat pertama.  Ini didasari dari persiapan Pittman sebelum membunuh dan setelah dia membunuh, dia mengambil uang milik kakenya dan melarikan diri ke negara bagian lain.  Setelah ditangkap di mengarang cerita bahwa dia diculik oleh seorang pria kulit hitam setelah pri itu membunuh kakek neneknya.  Ditambah lagi, pembunuhan itu terjadi setelah kakeknya baru saja menghukum Pittman.

Hakim memutuskan Pittman harus menjalani hukuman 30 tahun di penjara dewasa pada 15 Februari 2005.  Walaupun Pittman berusaha untuk naik banding, namun kasusnya selalu gagal di pengadilan.  Hingga akhirnya Pittman memutuskan untuk mengakui pembunuhan yang dia lakukan ketika berumur 13 tahun, dan diputuskan sebagai pembunuhan tidak direncanakan yang akhirnya memotong masa hukumannya menjadi 25 tahun.

Saya pikir seharusnya Indonesia pun jangan hanya meributkan Hak Azasi manusia jika membicarakan tentang pelaku kejahatan di bawah umur.  Coba sekali-sekali pikirkan bagaimana nasib hak azasi korban yang sudah dirampas oleh para pelaku pembunuhan.  Saya yakin baik Saiful dan kedua orang tuanya akan terpenjara oleh trauma-trauma yang ditimbulkan oleh peristiwa ini.  Lalu dengan "seenak"nya KOMNAS HAM menyatakan agar AMN dimasukan panti sosial karena masih anak-anak  dan masa depannya masih panjang....wow kok menurut saya tidak adil sekali.

Apalagi jika alasan latar belakang keluarga yang mungkin penuh dengan kekerasan, dalam logika saya itu tidak masuk akal.  Itu sama saja menyamaratakan semua korban kekerasan akan jadi penjahat ketika dewasa.  Saya rasa budaya mendidik orang tua di negara ini masih penuh dengan kekerasan, tetapi apakah itu dapat melegalkan tindakan seorang anak menusuk temannya jika dia marah atau merasa terpojok?  Anda sendiri yang dapat menjawabnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun