Mohon tunggu...
Buruh Tinta
Buruh Tinta Mohon Tunggu... -

streetJOURNALISTliveMOMENTcrime SCENEsport FLASHurbanSTORYsocial LIVE

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Refleksi Hari Anak

23 Juli 2013   10:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:10 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1374550493205171082

[caption id="attachment_276851" align="alignleft" width="300" caption="Keceriaan seorang anak saat bermain barongsai mini (goeh_art@ymail.com)"][/caption] Anda pernah jadi anak-anak? Tentu saja. Sudah menjadi ketentuan alam jika setiap orang dewasa pernahmenjadi anak-anak dan mengalami indahnya masa bermain. Tak terkecuali, manusia, hewan, bahkan alien pun pernah melakoni masa tumbuh dan berkembang sebagai anak. Kecuali anda malaikat.

Ada yang masih ingat jenis permaian tradisional? Bagi anda yang masa kecilnya di era sebelum tahun 2000 tentu tidak asing dengan sejumlah permainan tradisional. Sebut saja, sepakbola, gasing, kelereng, layangan, kasti, balap karung dan lainnya. Ada juga permainan tradisional kreatif seperti perang-perangan dengan senapan dari batang pisang, balapan egrang dari bambu, atau mobil-mobilan dari kulit jeruk bali. Permainan tradisional tanpa alat? Kejar-kejaran, hompimpa, adu suit, dampu, engklek, ular naga, petak umpet dan sebagainya.

Umumnya, anak laki-laki biasanya bermain sepakbola dengan bola plastik dilapangan tanah atau rumput. Kalau ditendang, bolanya melayang tak tentu arah. Gawangnya bisa dari sandal, batu, bilah kayu atau ranting pohon. Tim yang kebobolan duluan harus buka baju untuk membedakan kedua tim yang bertanding. Apalagi kalau lagi turun hujan, bisa sliding tackle. Tidak peduli di lapangan ada batu atau beling. Merakyat dan bisa dinikmati semua kalangan.

Ada juga anak yang bermain melalui tahapan proses pembuatan permainan. Mencari bambu, mengukur, menimbang hingga menempelkan kertas minyak untuk dijadikan layang-layang. Keluarga sederhana tak kalah kreatif. Modal bambu dan benang, layar layangan dibentuk dari kertas koran atau kantong plastik. Bagi yang malas bikin pun berkreasi mencari galah panjang dan mengikatkan ranting di ujung galah. Bagi yang berpostur tinggi, cukup modal lari kencang dan keahlian memanjat.

Bahkan sandal jepit bekas pun bisa dijadikan mainan. Tali sandal dipotong, lalu salah satu ujung sandal dibelah membentuk celah. Lalu, dipasang kayu pipih dan karet sebagai motor penggerak. Jadilah perahu karet dan siap diadu. Saat raket bulutangkis jebol pun, fungsi sandal akan berubah menjadi raket. Bisa juga jadi alat pemukul pantat kalau anak belum pulang saat hari petang.

Sementara itu, anak perempuan biasanya bermain masak-masakan. Bahan olahannya dari pasir, pecahan bata merah, daun-daunan. Piringnya dari batu ceper, gelasnya dari bekas bungkus jajanan cokelat colek. Makannya pura-pura disuapin ke mulut lalu tumpah ke bawah. Begitu juga dengan permainan lompat karet, ular naga dan lainnya.

Menyenangkan bukan. Tapi itu dulu.

Sekarang masanya anak-anak hidup di era teknologi digital. Semua permainan tersebut sudah jarang dimainkan. Kalau pun ada paling di daerah pedesaan atau pinggiran kota. Apalagi di kota besar seperti Jakarta, langka. Jika ingin memaksakan ada, itu pun harus nunggu tengah malam atau musim liburan seperti lebaran saat jalanan sepi.

Meski teknologi memfasilitasi permainan tradisional dalam setiap aplikasi permainan komputer, namun akan menjadi pengalaman berbeda bagi yang memainnkannya. Kalau dulu, anak-anak pegang gundu, sekarang pegang gadget (perangkat elektronik) permainan baru. Anak yang tidak mampu beli, cukuplah menonton atau mendengar cerita dari temannya lalu memimpikannya di malam hari.

Ada juga anak-anak yang membaur, tapi di tempat umum seperti rental permainan atau warung internet (warnet). Online game atau konsol video game berbayar manjdi pilihan laternatif. Tempat bermain sekaligus tempat belajar mengumpat., bahkan proses pendewasaan dini melalui proses meniru orang dewasa.

Pandangan mata berbanding lurus di depan monitor PC. Tangan kanan mencengkeram mouse, tangan kiri menari di atas keyboard, kedua telingan disumbat headset. Percaya atau tidak, mereka yang berada pada posisi tersebut tidak akan peduli siapa yang ada disebelahnya. Sekalipun yang berdiri adalah malaikat kematian! Bagi warnet yang tidak menyediakan headset, suaranya akan saling sahut-sahutan antara efek permaianan perang di online game dengan teriakan para pemain bagai seperti tukang sayur menjajakan dagangannya. Bedanya, isinya cenderung makian.

Disaat sebagian anak masih dapat menikmati masa bermain, situasi anak-anak disisi lain justru lebih memprihatinkan. Hidup telantar dijalanan, menggelandang mencari sesuap nasi, meninggalkan sekolah untuk bertahan hidup, atau bahkan tidak jarang ada juga yang mati dijalanan.

Mereka tidak bermain, bersekolah atau mendapatkan kehangatan keluarga. Hanya segelintir yang menginginkan keluar dari sisi gelap dunia jalanan. Meski sedikit, masih ada juga yang bersekolah dan kerja sambilan sepulang darimenuntut ilmu. Bagi yang ingin bermain pun diluangkan saat tengah malam ketika jalanan sepi dengan bermain bola, galasin atau permainan lainnya.

Itu belum seberap jika dibandingkan dengan nasib anak-anak korban trafficking. Mereka yang seharusnya menjadi aset bangsa yang perlu dilestarikan malah menjadi aset para pelaku tindak kriminal. Kekerasan terhadap anak, jual beli anak, perbudakan, kurir narkoba, hingga dipoles gincu untuk memberi servis pria hidung belang.

Coreng yang masih akan sulit untuk dihapus dari dunia anak Indonesia. Perayaan tahunan hari anak setiap tanggal 23 Juli pun terkesan hanya sekadar seremonial belaka. Menjaga atau melestarikan sesuatu sudah menjadi kendala paling akut bagi sebagian masyarakat Indonesia. Mereka yang mengaku peduli baru akan terlihat peduli ketika suatu yang dianggap bernilai mengalami kepunahan, atau diakui pihak lain. Selamat Hari Anak.

(Tidak) Hanya untuk direnungkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun