Mohon tunggu...
Lusiana T
Lusiana T Mohon Tunggu... wiraswasta -

www.burselfwoman.com | Blogger | Author | Berani Ikut Pameran, PT Gramedia Pustaka Utama | Follow me @lusitris

Selanjutnya

Tutup

Politik

Siapkah Perempuan Berkorban Untuk Politik?

30 Juli 2010   01:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:28 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Teman saya, seorang staff senior personalia disebuah perusahaan menengah pernah mengatakan, kalau bukan karena sifat perempuan yang penurut dan telaten, rasanya dia keberatan merekrut perempuan sebagai karyawan. Merekrut perempuan berarti harus bersiap dengan banyak kerepotan. Perempuan, apalagi sudah berkeluarga, akan memiliki banyak kendala untuk sepenuhnya mengejar target pekerjaan. Jika anak sakit, suami sakit, atau pembantu pulang kampung, perempuanlah yang pertama-tama harus bertanggung jawab alias absen bekerja. Nah, bayangkan jika perempuan itu bertanggung jawab memperjuangkan nasib sekitar 238 juta jiwa rakyat Indonesia.

Menarik sekali mencermati dua perempuan anggota DPR yang mengambil jalan berbeda dalam waktu bersamaan berkaitan dengan posisinya sebagai pejuang kepentingan rakyat dan sebagai ibu rumah tangga. Ratu Munawaroh memilih untuk membolos 100% dalam masa sidang paripurna 5 April 2010- 18 Juni 2010, bahkan kemudian mengundurkan diri. Sedangkan Rachel Maryam memilih untuk bercerai dengan suami dan tetap berkomitmen menjadi anggota DPR yang aktif. Saudara-saudaraku, perempuan-perempuan tangguh di DPR dan LSM, berjuang keras meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di DPR mengingat populasi perempuan di Indonesia mencapai 51% sedangkan keterwakilannya di DPR hanya mencapai 9%. Perjuangan itu mulai membuahkan hasil dengan ditetapkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 pasal 65 ayat 1 tentang Pemilu yang mengatur kuota sekurang-kurangnya 30% bagi perempuan calon legislatif. Namun sebenarnya apakah perempuan sendiri siap menduduki jabatan tersebut? Lebih jauh lagi apakah siap tidak sekedar menduduki jabatan tersebut tapi sekaligus memikul tanggung jawabnya?

Tugas seorang anggota DPR, perempuan maupun laki-laki, bersama dengan anggota DPR lain dan Presiden menentukan arah negara ini. Sungguh tidak main-main seperti karyawan perempuan sebuah perusahaan yang bisa permisi begitu saja jika pembantu pulang kampung. DPR bersama Presiden antara lain bertugas membentuk Undang-undang, menetapkan APBN, melakukan fit and proper test terhadap calon hakim agung, bahkan memberikan persetujuan atas penyataan perang.

Agak janggal mencari data kedua perempuan ini di www.detik.com karena Ratu Munawaroh bisa cepat ditemukan di detiknews sedangkan Rachel Maryam di detikhot, walaupun temanya sama, urusan keluarga. Meskipun Rachel Maryam adalah mantan artis namun keputusannya untuk bercerai demi kedudukannya sebagai wakil rakyat masih dianggap sebagai sensasi, sedangkan keputusan Ratu Munawaroh untuk meletakkan tanggung jawabnya demi suami dianggap sebagai sesuatu yang sudah seharusnya. Pandangan kita sendiri terhadap perempuan dalam politik masih seperti cara kita memandang perempuan karyawan kantor yang bisa pulang begitu saja jika anaknya sakit panas. Ini bukan berarti pembelaan terhadap perceraian atau merendahkan nilai-nilai keluarga, hanya berusaha mendudukkan bahwa urusan 238 juta jiwa rakyat Indonesia tidak sama dengan urusan suami tercinta.

Anggota DPR tidak boleh merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya. Anggota DPR juga tidak boleh melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga-lembaga yang berhubungan dengan tugas, wewenang dan hak sebagai anggota DPR. Namun anggota DPR tidak dilarang menjadi istri gubernur, seperti Ratu Munawaroh yang istri mantan gubernur Jambi, Zulkifli Nurdin. Istri gubernur tentu saja berbeda dengan istri-istri lain. Walaupun dalam struktur pemerintahan Jambi beliau sama sekali tidak disebut-sebut, namun beliau adalah pembina perempuan Jambi. Kehadirannya ditengah masyarakat Jambi diharapkan sama sering dengan sang suami. Jadi sebenarnya bukan hanya ketika sakit atau sehat, tapi memang seharusnya beliau ada di Jambi bersama dengan sang suami.

Konon Ratu Munawaroh selain sebagai istri mantan orang nomer satu di Jambi, juga adalah sosok yang cantik dan cerdas, sehingga mudah baginya untuk merebut hati para pemilihnya. Namun kesadaran akan kekuatan dan kekuasaan poliltik itu hendaknya jangan dipandang dalam jangka pendek, sebagai sesuatu yang menggiurkan dan harus direbut. Dengan kapasitas beliau, serta partai besar yang menaunginya, mestinya hal seperti ini dalam jangka panjang sudah bisa diduga. Istri pejabat publik tidak sama dengan istri bos perusahaan. Kehadirannya ditengah masyakarat Jambi adalah mutlak. Sehingga ketika dihadapkan dengan kemutlakan beliau di Jambi dan sakitnya sang suami, tentu saja beliau kehabisan energi. Sayang sekali jika biaya Pemilu 2009 yang sekitar 21,8 trilyun yang dikumpulkan dari pajak rakyat yang bekerja dari pagi hingga malam demi anak istri dan cuti setahun duabelas hari harus sia-sia saja.

Rachel Maryam adalah bagian dari fenomena politikus tiba-tiba dari kalangan pesohor. Sekalipun komitmennya ternyata lebih besar dari Ratu Munawaroh yang lebih lama mendampingi suami didunia politik dan malah akhirnya terjun sendiri, ternyata lingkungannya mengalami gegar politik. Tidak siap dengan tugas dan tanggung jawab Rachel yang berubah total. Rachel tidak lagi fun karena harus serius memikirkan rakyat yang diwakilinya.

Mewakili rakyat tentu saja tidak mudah, karena jam tidur rakyat berbeda-beda, masalah rakyat berbeda-beda dan harapan rakyat-pun berbeda-beda. Jika anggota DPR tersebut berasal dari kader yang telah lama bergabung dengan partai, tidak memerlukan adaptasi yang berlebihan mengenai tugas dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat. Hanya wibawa dan tunjangan yang jauh lebih besar. Itu juga berlaku bagi keluarganya yang sudah terbiasa dengan suasana berpolitik. Tapi bagi anggota DPR dadakan, yang hanya berproses dan beradaptasi selama pemilu, kejadian seperti yang dialami Rachel terasa wajar saja. Baik Rachel maupun keluarganya tidak memiliki cukup waktu untuk beradaptasi dengan kehidupan berpolitik. Akhirnya, keluarga yang diawali dengan cinta menggebu dan cita-cita tulus harus kandas untuk sebuah komitmen besar tapi mengabaikan kesiapan mental keluarga.

Perempuan memiliki hak berpolitik. Sejauh apa hak itu akan dipergunakan tergantung masing-masing individu. Jika ada hak, tentu ada kewajiban. Dihadapan perempuan, kewajiban itu ada dua, rakyat dan keluarga. Berpolitik itu memerlukan proses yang panjang sebelum sah menjadi wakil rakyat, juga memerlukan durasi panjang setelah sah menjadi wakil rakyat. Jika semua dipikirkan dengan matang, tentu tidak adaperceraian dan tidak perlu membuang uang rakyat yang dikumpulkan setengah mati dari pajak. Siapkah anda menjadi wakil rakyat yang bertanggung jawab sekaligus ibu yang penuh perhatian?

1st published at www.burselfwoman.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun