[caption id="attachment_299290" align="aligncenter" width="295" caption="Indeks Standar Percemar Udara 12 Maret 2014. Dokumentasi pribadi."][/caption]
Teori dan data sudah banyak bertebaran, tapi tak ada yang bisa membuat saya benar-benar menghargai arti udara bersih kecuali pengalaman terperangkap dalam kabut asap selama bertahun-tahun di Riau. Awal saya bermukim di Riau, kabut asap hanya sesekali terjadi setiap tahunnya. Sekali kejadian, paling-paling hanya selama satu atau dua minggu, itupun cerah jika siang. Kabut asap kebanyakan turun sore hari dan menetap hingga pagi.
Memasuki tahun 2014, kabut asap langsung muncul di awal tahun. Awalnya masih dengan pola seperti diatas, dimana cerah di siang hari. Lama-lama kabut asap tak mau pergi, menetap meski di siang hari selama hampir dua bulan belakangan. Hanya kadang-kadang menipis, tapi asap itu tetap ada.
Kabut asap itu mirip kabut air di pegunungan, bedanya, bau kabut asap seperti bau kebakaran dan berbahaya jika terhirup. Anak-anak bolak balik diliburkan. Sekitar 50.000 orang terkena ISPA (infeksi salurang penafasan atas). Ibu-ibu yang sedang hamil dan anak kecil rentan mengalami kemunduran intelegensia. Satu generasi mengalami kerugian besar di Riau. Semua itu harus dihentikan sekarang!
Setiap selesai operasi besar-besaran pemadaman kebakaran hutan yang mengerahkan relawan dan TNI menggunakan tenaga manusia, helikopter dan pesawat militer, kita pun bernafas lega. Masalah selesai. Padahal itu hanya solusi semu karena periode kebakaran selanjutnya selalu jauh lebih besar akibat tidak ada tindakan lanjutan setelah kebakaran berhasil diatasi.
Sumatra dan Kalimantan yang merupakan kawasan eksplorasi hasil hutan dan tambang terbesar di tanah air ini dikaruniai lahan gambut yang merupakan tempat nyaman bagi berbagai jenis udang dan ikan. Udang galah Riau dan Kalimantan adalah produk kuliner unggulan yang tak pernah dilewatkan. Tapi itu menjadi bencana yang teramat besar ketika hutan dibakar.
Tegas Dari Awal
Tak ada gunanya punya sumber daya alam (SDA) berlimpah jika tak bisa mengelolanya. Bahkan SDA tersebut bisa berubah menjadi bencana seperti kabut asap. Aturan pengelolaan harus tegas, lengkap dengan sanksi sejak pengajuan perijinan pengelolaan hutan oleh perusahaan-perusahaan. Analisa Dampak Lingkungan (Amdal) dan safety harus diperinci hingga masalah operasional, misalnya skema penanggulangan kebakaran hutan, skema meminimalkan dampak banjir bandang, kelengkapan fasilitas untuk menjalankan skema tadi, mekanisme monitoring terhadap semua sudut wilayah konsesinya dan sebagainya. Jika nantinya perusahaan tersebut gagal mengontrol wilayahnya sehingga timbul titik api, ijin harus dibekukan lebih dulu. Jika perusahaan tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan atas kejadian tersebut, ijin akan dicabut.
Aturan sejenis juga diterapkan pada perusahaan pertambangan. Hutan yang telah dibuka untuk kegiatan pertambangan tidak akan pernah bisa dipulihkan seperti sedia kala. Yang bisa dilakukan adalah meminimalkan kerusakan. Meski pertambangan adalah sumber pemasukan negara yang sangat besar, bukan berarti ijin pertambangan hanya didasarkan pada keuntungan ekonomi. Apalagi Riau telah membuktikan bahwa jika secara ekologis terganggu, kegiatan ekonomi juga mandeg.
Tidak alasan bagi perusahaan tersebut untuk tidak bertanggung jawab terhadap kebakaran di wilayahnya, meskipun bukan pihaknya yang membakar. Hal serupa harus dikenakan pada perusahaan yang tidak bisa mengawasi wilayahnya dari pencurian kayu dan salah tebang.
[caption id="attachment_299291" align="alignnone" width="600" caption="Helikopter melakukan bom air di Perawang, Riau. Dokumentasi pribadi."]