Tentu ada sebab utama jika budaya Melayu berkembang sedemikian luas, meliputi sebagian besar Sumatra, Kalimantan, Malaysia, Brunei, Filipina dan Singapura. Melayu tidak dikenal sebagai suku bangsa yang sering melakukan penaklukan di wilayah-wilayah tersebut sehingga dalam asilimilasi budayanya pastilah dilakukan dengan cara lain yang mudah diterima. Yang saya rasakan selama di bumi Lancang Kuning Riau ini adalah keterbukaan. Akan sangat menarik jika suatu saat Indonesia Travel mengadakan program wisata dengan mengikuti penulusuran sejarah Melayu di wiliayah tersebut.
Pada jaman dulu, sebutan orang Melayu tidak terkait dengan asal daerah dan darah atau keturunan, melainkan yang beragama Islam, berbahasa Melayu dan menjalankan adat istiadat Melayu. Oleh karenanya, banyak orang yang merasa nyaman menyatu dalam lingkungan tersebut, berasimilasi dengan budaya Melayu, lalu disebut sebagai orang Melayu.
Jaman sekarang, orang Melayu bisa menerima pendatang dari daerah dan agama manapun. Maka tak heran kita mudah pula menemukan orang Jawa, orang Batak atau dari etnis lain di Riau. Tak hanya di sektor swasta, di pemerintahan pun kita bisa temukan nama-nama dari etnis lain. Ada kesadaran bahwa meski orangtuanya dari daerah lain, banyak yang lahir di daerah ini dan berprestasi atas nama daerah ini.
Masyarakat yang majemuk itu tak lantas membuat kehidupan sehari-hari penuh perselisihan. Orang Melayu sangat mempedulikan sopan santun. Tengoklah Gurindam Dua Belas pasal kelima ini:
Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia, sangat memeliharakan yang sia-sia
Jika hendak mengenal orang yang mulia, lihatlah pada kelakuan dia
Jika hendak mengenal orang yang berilmu, bertanya dan belajar tiadalah jemu
Jika hendak mengenal orang yang berakal, didalam dunia mengambil bekal
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai, lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai
Secara kesusastraan, orang Melayu memang maju terlebih dulu di negeri ini. Budaya Melayu mengajarkan untuk selalu menimba ilmu pada cerdik cendekia dan menabung bekal kebaikan selama didunia. Mereka juga mengajarkan tenggang rasa dalam pergaulan.
Kenakalan remaja, pertikaian antar etnis, bahkan korupsi adalah contoh yang jauh dari budaya Melayu. Di tempat umum, orang tak lagi menghormati yang lebih tua, bahkan tak mau mengalah pada orang lanjut usia ketika sedang berada dalam antrian. Korupsi menjadi-jadi, tak ingat bahwa tak bisa dibawa mati.
Sesungguhnya, budaya bukan hanya seputar pesta adat atau ragam pelaminan pengantin. Budaya juga mendasari kehidupan kita sehari-hari karena itu diajarkan sedikit demi sedikit oleh orangtua hingga tak terasa bahwa itu adalah nilai kebaikan yang sedang ditanamkan. Adalah kerasnya persaingan hidup dan lingkungan tanpa toleransi yang telah membuat kita melihat budaya sebagai sesuatu yang kuno dan penuh basa basi.
Ketika kehidupan bermasyarakat sudah dipenuhi oleh sikap saling tak peduli, saling caci, mudah tersingggung dan mau menang sendiri, tak ada salahnya kita kembali pada budaya lelulur bangsa untuk menyerap nilai-nilai baiknya. Bukankah budaya leluhur itu pula yang menjadi fondasi bagi berdirinya bangsa ini?
Bangsa yang modern adalah bangsa yang maju secara ekonomi tapi tak membuatnya lupa menghormati para tetua, berendah hati meski berpendidikan tinggi dan berperangai santun ditengah masyarakat. Bangsa yang besar adalah santun budi bahasanya.
Sumber pendukung:
http://id.wikipedia.org/wiki/Melayu_Riau
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H