Mohon tunggu...
Rofatul Atfah
Rofatul Atfah Mohon Tunggu... Guru - Guru Tidak Tetap

Seorang guru biasa dan Ibu dari anak-anaknya yang istimewa.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tragedi Valentino Bukan Hadiah Hari Pendidikan Nasional

2 Mei 2014   23:05 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:56 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kisah tragis Valentino (5 thn) sesungguhnya bukan hadiah untuk Hari Pendidikan Nasional. Sulit mencari logika seorang anak kecil "sengaja" melakukan bunuh diri hanya karena ngotot ingin menonton film Spiderman 3. Mungkin dalam pikirannya bunuh diri adalah "cara sederhana" untuk menunjukkan sikapnya kepada sang bunda. Namun "cara sederhana" itu terlalu naif untuk seorang balita yang semata ingin dipenuhi keinginannya saat itu juga.

Bahwa bunuh diri akan menyebabkan sang bocah tidak bisa bertemu lagi dengan siapapun dan diapun tidak mungkin bisa hidup lagi di dunia, belum dipikirkan sama sekali. Hanya hayalan bahwa (mungkin seperti Spiderman idolanya) kalau menjatuhkan diri pasti dapat tempat untuk mendarat dengan selamat. Persis seperti adegan film dan sinetron, melodrama dianggap bagian dari skenario yang bisa ditampilkan ke dalam satu sampai tiga sekuel ataupun berpuluh-puluh episode. Kesemuanya memperlihatkan keperkasaan sang jagoan, yang tetap hebat meski berkali-kali mengalami kekalahan.

Saya turut berduka cita atas musibah di atas. Saya berharap keluarganya, terutama sang bunda tetap tegar, meski mungkin perlu waktu bertahun-tahun lamanya. Musibah yang menimpa memang diluar dugaan siapapun. Tidak ada pula yang perlu dipersalahkan. Mengapa ? Karena memang tidak hanya Valentino, banyak anak-anak lain (dahulu maupun kapanpun), menjadi korban dari aneka tragedi kehidupan.

Untuk itu, seiring dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional, perlu diwujudkan muatan pendidikan yang memanusiakan manusia, kembali pada harkat, fitrah, dan martabatnya. Betapapun majunya teknologi dan aneka persaingan global, namun pada hakikatnya manusia membutuhkan keselarasan hidup dalam suatu harmoni kehidupan yang damai, tenteram, dan aman.

Oleh karena muatan pendidikan tidak mampu menjadikan manusia sebagai mahluk yang mempunyai harkat, fitrah, dan martabat, berbeda dari mahluk lain terutama hewan, maka yang tampil adalah sekedar lulusan demi lulusan sekolah. Bukan manusia yang sesungguhnya, mempunyai akal, rasa, dan karsa selaku manusia.

Pelajaran Bahasa Indonesia lebih diajarkan sebagai telaah linguistik, daripada kandungan nilai-nilai moral dalam dongeng, cerita, puisi, maupun peribahasa. Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan hanya melihat Pancasila sebagai kalimat demi kalimat normatif, bukan mendiskusikannya dalam berbagai pandangan. Pelajaran Matematika lebih cenderung menakut-nakuti siswa tanpa ada upaya menjadikannya sebagai bentuk permainan asah logika dari lingkungan yang ada. Pelajaran lain demikian pula.

Ketika diatas sudah beku, di bawah cuma tinggal seonggok manusia yang sulit dicerna lagi hati nuraninya. Kemudian terjadilah tragedi demi tragedi. Sampai disini, sudah selesaikah ? Ternyata belum. Sebab masih ada peringatan Hari Pendidikan Nasional di tahun-tahun mendatang. Dan mudah-mudahan bukan tragedi maupun ironi yang menjadi hadiahnya. Melainkan senyuman setiap anak, setiap siswa, setiap generasi muda, yang memandang indah masa depannya. Itu harapannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun