Mohon tunggu...
Rofatul Atfah
Rofatul Atfah Mohon Tunggu... Guru - Guru Tidak Tetap

Seorang guru biasa dan Ibu dari anak-anaknya yang istimewa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyoal Pembenahan Kualitas Guru

22 Januari 2015   09:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:37 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Upaya pembenahan guru mutlak perlu dilakukan. Siapapun tahu bahwa guru adalah ujung tombak pencerdasan kehidupan bangsa. Namun tidak seorang pun tahu bahwa yang disebut guru, belum tentu guru sebenarnya. Meski tidak ada keterkaitan yang signifikan antara latar pendidikan dengan kualitas seorang guru, namun terdapat pengaruh yang kuat apabila seorang guru dididik dan ditempa oleh institusi pendidikan yang benar-benar berkualitas.

Apalagi bila membandingkan antara kualitas guru sekarang dengan guru hasil didikan zaman penjajahan Belanda sampai orde lama. Meski dengan catatan, kualifikasi seorang pengajar akan sangat berbeda dengan kualifikasi seorang pendidik. Pun bila guru hasil didikan zaman penjajahan Belanda dan orde lama belum tentu semuanya guru, namun dengan sistem pendidikan yang tertib, tetap menghasilkan mutu lulusan sekolah yang tidak dapat diragukan lagi kualitasnya.

Kondisi yang berbalik sekarang. Kualitas para guru sangat beragam. Begitu pula latar pendidikannya. Bahkan karena begitu mudahnya mencetak seorang guru, banyak perguruan tinggi berlomba membuka program pendidikan keguruan. Ironisnya, perguruan tinggi yang berakreditasi C pun bisa membuka program pendidikan keguruan.

Selain masalah di atas, fenomena membludaknya orang untuk menjadi guru, bahkan sanggup bertahan menjadi honorer di sekolah negeri lebih dari 20 tahun semata demi iming-iming memperoleh status PNS, sampai kapanpun akan tetap ada selama upaya pembenahan guru tidak pernah tuntas. Padahal untuk era sekarang dimana sudah berlaku pasar bebas ASEAN (MEA), tentunya tidak bisa lagi membenahi pendidikan di Indonesia dengan program yang bersifat "belas kasihan" dan "Kekeluargaan".

Dua kata itu, "belas kasihan" dan "kekeluargaan" sudah menjadi budaya yang mengakar kuat di benak orang Indonesia. Upaya pemberian berbagai tunjangan dan sertifikasi guru, dapat dianggap sebagai wujud "belas kasihan" untuk kondisi ekonomi guru yang pada waktu-waktu lalu sangat pas-pasan. Namun, disisi lain ada "nilai kekeluargaan" untuk tidak mengawasi secara ketat kinerja guru yang sudah mendapat tunjangan dan sertifikasi tersebut. Mungkin saja, di beberapa tempat seperti DKI Jakarta, kinerja guru sudah membaik. Akan tetapi, sekali lagi guru tidak haya di DKI Jakarta ataupun kota-kota besar lain.

Maka, untuk upaya pembenahan kualitas guru sangat dibutuhkan orang seperti Ahok ataupun pak Jonan. Suka tidak suka, pemimpin seperti Ahok dan pak Jonan mampu menghapus sosok pemimpin yang sudah umum digambarkan, yaitu "baik hati" karena toleran terhadap penyimpangan dan senantiasa berbicara santun bahkan terhadap penyimpangan besar sekalipun. Tidak seperti pak Ahok dan pak Jonan yang tidak mempunyai "belas kasihan", apalagi "kekeluargaan" terhadap setiap penyimpangan.

Oleh karena itu, sekiranya di kalangan dunia pendidikan Indonesia memiliki pemimpin seperti dua orang ini, dapat diharapkan adanya gebrakan untuk membangkitkan kembali kejayaan dunia pendidikan Indonesia. Dan yang pertama-tama yang saya inginkan adalah gebrakan untuk menertibkan intitusi pendidikan penghasil guru. Agar siapapun tidak begitu mudah mendirikan lembaga pendidikan keguruan. Termasuk perguruan tinggi negeri. Kalau perlu lembaga pendidikan keguruan dirampingkan dan dibentuk semacam STAN dengan program anggaran yang khusus dan kebijakan pendidikan yang visioner.

Kini tinggal menunggu gebrakan pak Anies selanjutnya apakah bisa membuat terobosan pendidikan dari belitan akar masalah yang paling bawah, yaitu para guru. Tunjangan dan sertifikasi memang perlu. Namun lebih perlu lagi adalah menyeleksi secara ketat dan obyektif siapa-siapa saja yang bisa menjadi guru dan siapa yang bisa mendidik para calon guru. Hasil seleksi harus benar-benar diterapkan, dimana yang lolos seleksi bisa terus lanjut, sementara yang tidak, silahkan mengundurkan diri. Masa anak murid saja yang harus dibuat "program pengamanan ketat UN", sedangkan para guru tidak ? Tidak adil kan ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun