Maaf, aku menulis tentang Ojo Gumunan, dan tidak tentang Ojo Dumeh ataupun Ojo Kagetan. Apalagi tentang pendidikan. Aku juga tidak tahu mengapa tiba-tiba saja teringat falsafah Ojo Gumunan, padahal aku bukan dari suku Jawa. Bagiku, Ojo Gumunan mengandung makna yang sangat dalam untuk saat ini. Meski aku mengenal Ojo Gumunan, Ojo Kagetan, dan Ojo Dumeh, Â sejak lama, yaitu dari pitutur pak Harto, di masa orde baru. Oh iya titip salam untuk pak Danang http://www.kompasiana.com/danang_2297/ojo-dumeh-ojo-kagetan-lan-ojo-gumunan yang menulis lebih dulu tentang tiga pitutur peninggalan pak Harto ini.
0jo Gumunan adalah pitutur atau wejangan yang mengajak kita untuk merenungkan bahwa sebenarnya segala suatu di dunia adalah fana, tidak ada yang abadi. Bahwa segala sesuatu itu pada dasarnya adalah hanya berupa bayang-bayang, senyap, bahkan mungkin saja. Karena kita semua semata-mata adalah hanya mahluk. Yang sekaligus merupakan wayang dari takdir dan kehendak-Nya.
Oleh karena itu tdak ada sesuatupun yang bisa melebihi kekuasaan dan kebesaran Tuhan semesta alam. Namun justru manusia lebih suka terpesona oleh benda daripada bersusah payah berzikir dan berfikir tentang hakekat asal muasal.
Maka tidaklah mengherankan jika sekarang ini disatu sisi ada berita pamer keberhasilan, sementara disisi lain ada banyak kasus kelam yang mengkhianati rasa kemanusiaan. Kedua sisi bahkan seakan saling berlomba mengalahkan pamor satu sama lain.
Tidakkah seperti dalam film-film dan dongeng tempo dulu bahwa pada akhirnya kebenaran mengalahkan kebathilan ? Sayangnya sepertinya tidak. Malah yang terjadi lebih dari itu. Uang mengalahkan segala-galanya. Bahkan sanggup mengalahkan ketakutan ditangkap oleh KPK. Uanglah yang membuat siapapun menggumun, terpesona oleh kekuatan super adidayanya.Â
Kini, apakah pendidikan sama sekali tidak berarti ? Seberapa pentingkah Ojo Gumunan, dibandingkan menulis tentang keberhasilan Pendidikan ? Meski Ojo Gumunan mungkin hanya sekedar menjadi gumaman yang tidak begitu penting-penting amat. Terlebih dunia pendidikan di Indonesia sekarang ini, sudah sangat hebat, terlalu hebat dengan meraih banyak prestasi sebagai juara diberbagai olimpiade disana-sini. Â
Ironisnya dibalik keberhasilan pendidikan ada sejumlah besar anak didik yang tertinggal oleh ketidakberdayaan pendidikan itu sendiri. Dimana pendidikan tidak bisa menjangkau sisi kemanusiaan para anak didik. Karena mereka hanya sebagai obyek penelitian yang tidak lebih berharga dihadapan kajian teoritis berbagai produk pendidikan.
Sehingga tidak mengherankan bila kini kita semua terkaget-kaget, hampir setara "terpesona" mengetahui betapa ekstremnya tingkah polah para anak didik yang tertinggal itu. Mereka memang tidak mampu memberikan piala. Dan karenanya ganti mereka yang memberikan kepada kita fenomena wajah baru gaya hidup yang nyaris anti mainstream. Termasuk hidup nyaman dalam berbagai aksi kriminalitas.
Kaget ? Rasanya tidak. Bukankah masih ada sisi lain keterpesonaan yang lebih pantas ditampilkan. Seperti yang orang-orang lain mengutip ucapan Gus Dur, "Gitu aja kok repot." Tokh ini juga tulisan tentang Ojo Gumunan dan bukan tentang Pendidikan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H