Mohon tunggu...
Rofatul Atfah
Rofatul Atfah Mohon Tunggu... Guru - Guru Tidak Tetap

Seorang guru biasa dan Ibu dari anak-anaknya yang istimewa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kearifan Lokal, Mbah Rono, dan Pelajaran Sekolah

4 Februari 2014   09:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:10 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mendengar wawancara pak Surono mantan Kepala PVBMG, sekarang staf ahli Menteri ESDM) di TV One pagi tadi, seperti mendengar wejangan seorang Mbah Juru Kunci dari seluruh gunung di Indonesia. Kata-kata beliau sangat bermakna, penuh filosofi hidup seimbang dengan alam. Nyaris membuat presenter TV One hampir tidak mengerti apa yang dijelaskan oleh Mbah Rono, demikian panggilan akrab beliau.

Hidup seimbang dengan alam, bukan semata hidup berdamai dengan bencana. Hidup seimbang dengan alam adalah memandang alam sebagai bagian dari kehidupan yang harus dihormati. Dalam bentuk sederhana, masyarakat tradisional memahaminya dengan memberi sesajian (sesajen) aneka makanan di tempat-tempat yang dikeramatkan. Dalam alam pikiran masyarakat awam, sesajian tersebut adalah berupa persembahan kepada leluhur penunggu tempat keramat tersebut. Namun sebenarnya, dalam bentuknya kearifan lokal tersebut menghasilkan kelestarian alam, aneka pantangan merusak alam, menghormati hewan hutan, menjaga sumber mata air, kehati-hatian menyusuri hutan dan gunung, dan mengarungi laut.

Masalahnya kemudian, bentuk kearifan tersebut lambat-laun terpeleset menjadi mitos-mitos menakutkan yang kesannya membuat pikiran masyarakat menjadi beku, bahkan nyaris primitif dan penuh dengan hukuman, bencana, ataupun malapetaka. Pemberian sesajian sekadar sebagai rutinitas dari daur kehidupan yang jika tidak dilakukan akan menjadi bencana. Parahnya kemudian malah menjadi tempat ziarah hanya untuk kepentingan duniawi, seperti mengharap rezeki, mencari jodoh, meminta naik pangkat, dan sebagainya.

Wajar jika kemudian dari sebagian kalangan ulama Islam terjadi penolakan. Semua bentuk kearifan lokal dianggap sebagai wujud syirik yang harus diberantas. Industri pun menolak dengan alasan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan modernisasi. Penolakan lain dari kalangan pendidikan, meski dalam bentuk halus, yaitu tidak memasukkannya keanekaragaman bumi Indonesia sekaligus potensi bencananya ke dalam satu mata pelajaran utuh.

Pelajaran Ilmu Bumi yang sekarang disebut Geografi, hanya diajarkan secara utuh di tingkat SMA jurusan IPS. Itupun materinya sangat padat dengan berbagai cabang dari Ilmu Geografi. Untuk tingkat SMP, Ilmu Geografi disatupadukan dengan pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) lain, yaitu Ilmu Ekonomi dan Sejarah (SMP ditambah Sosiologi). Sama halnya dengan tingkat SD, pelajaran Geografi disebut dengan IPS.  Sehingga belum memadai untuk mencapai tingkat pemahaman kearifan lokal tentang keanekaragaman bumi Indonesia beserta potensi bencananya.

Padahal meskipun tinggal di tempat yang aman, bukan berarti tidak akan kena pengaruh bencana. Cuma memang bangsa Indonesia hampir mendekati fenomena Katak Rebus. Yaitu kalau belum ada musibah, belum waspada. Lebih ironi lagi kalau belum ada yang meninggal, belum  bertindak. Dan tragisnya, kalau bencananya belum ekstrem, tidak akan ada pengaruh apa-apa. Ingat peristiwa kecelakaan tabrakan kereta di Bintaro vs truk tanki BBM ? Setelah itu, apakah para pengendara motor dan mobil di seantero Indonesia akan mematuhi aturan ketika mendekati rel kereta ? Sayangnya nyaris tidak.

Kembali kepada wejangan Mbah Rono, hidup menghormati alam dan membiarkan alam mengatur dirinya sendiri adalah perlu diajarkan. Kita boleh mengelola alam, tetapi bukan untuk merusaknya. Membangun permukiman bukan di pinggir tebing, bukan di pinggir sungai, bukan pula menghancurkan bukit semata untuk membangun rumah. Bukankah akan terlihat lebih indah bila membangun dengan menyesuaikan dengan kontur alam yang ada ?

Bukan sebaliknya, alam yang harus disesuaikan dengan keinginan manusia. Bila demikian yang terjadi, fenomena Katak Rebus yang akan terjadi. Oleh karena itu, yang tepat adalah pembelajaran tentang kearifan harus diajarkan dalam materi pelajaran di sekolah. Apapun pelajarannya. Agar  nantinya ketika para anak sekolah itu dewasa dan bekerja, atau menjadi pimpinan, maka dia akan bertanggungjawab dengan ilmunya. Dan bukan semata karena uang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun