Mohon tunggu...
Rofatul Atfah
Rofatul Atfah Mohon Tunggu... Guru - Guru Tidak Tetap

Seorang guru biasa dan Ibu dari anak-anaknya yang istimewa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ibu, Jangan Ajari Anak Gadget Tercanggih, Tapi Ajari Mempertahankan Diri

17 April 2014   05:57 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:34 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Andaikata Karl May masih hidup, saya ragu apakah dia tetap akan menuliskan karakter Old Shatterhand sebagai orang yang berhati mulia, teramat mudah memaafkan para musuh-musuhnya, sekalipun musuh tersebut adalah penjahat yang paling sadis semacam Old Death; sehingga orang yang begitu keji melakukan kejahatan seksual terhadap anak-anak bisa juga dimaafkan ?

Sengaja saya mengilustrasikan hal di atas sedemikian panjang, sebagai rasa geram, pilu, marah, dan duka yang teramat mendalam, mengingat setelah sekian banyak kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak namun hukumannya jauh dari rasa keadilan.

Sebagai seorang ibu dan juga perempuan (sengaja saya menegaskan), adalah teramat menyakitkan bila kemalangan dengan sengaja menimpa. Saya bilang, ini bukanlah takdir, sebab saya sangat yakin bahwa Tuhan tidak akan mengorbankan umatnya yang masih anak-anak kepada orang jahat. Kemalangan ini mungkin bisa disebut musibah. Namun musibah tentunya tidak harus berulang terjadi dan hanya menjadi konsumsi publik belaka. Baik melalui media televisi maupun tulis, baik yang reguler maupun di dunia maya. Sungguh saya sangat tidak mengharapkan pada akhirnya semua berlalu dengan sendirinya, nyaris tanpa solusi. Apalagi perhatian para capres dan cawapres.

Saya sangat bersimpati kepada mereka yang menjadi korban, apakah itu anak-anak, remaja, ataupun orang dewasa. Tidak hanya perempuan, lelaki juga bisa jadi korban. Terlalu gegabah pula bila berita tentang mereka ditulis mendetail kejadiannya, apalagi sampai dibuat kronologisnya. Sebab, bagi yang tidak mengalami, tentunya hanya dicari bagian yang menarik. Tetapi, bagi korban, seumur hidup mereka terkungkung dalam trauma yang menakutkan.

Cukup, tidak usah terulang kembali, jangan sampai terjadi lagi. Para ibu juga diharapkan tidak menomor satukan gadget tercanggih, daripada perhatian kepada anak-anaknya. Sudah fenomena, dimana seseorang rela berdesak-desakan memburu gadget tercanggih yang dijual perdana. Karena itu pula, dari kelompok masyarakat bawah juga terjebak untuk berlomba memiliki gadget yang tercanggih. Apapun itu cara mendapatkannya. Tidak perduli, sudah punya rumah atau belum, tidak perduli seberapa banyak hutang untuk membayar cicilan gadget yang diimpikan. Bahkan tidak perduli, situasi sesak semacam di busway dan commuter, yang penting headseat sudah terpasang dan selancar di dunia maya adalah yang nomor satu. Maka tidak mengherankan sampai ada status seorang remaja perempuan yang tidak suka wanita hamil minta tempat duduk.

Ibu-ibu juga lebih bangga telah memberikan gadget yang terbaru kepada anaknya daripada mengajari untuk berkata "tidak" kepada orang asing. Ya, belajar untuk berani berkata "tidak" adalah penting sekarang ini. Sebenarnya mudah mengucapkan kata "tidak", tetapi berkata dengan sepenuh kekuatan hati dan pikiran, membutuhkan mental yang kuat. Apalagi bagi anak-anak.

Selama ini anak-anak diajari untuk selalu menerima, entah itu berupa nasehat ataupun perintah orang tua. Mengajarkan anak untuk mau mendengarkan nasehat dan menjalankan perintah orang tua memang dibenarkan. Akan tetapi harus diimbangi dengan dialog dan suasana tanya jawab yang tidak ada ancama hukuman. Sehingga anak tidak merasa ada beban untuk menolak sesuatu yang memang tidak benar. Bukankah kebenaran dan hal yang tidak benar bukan hanya monopoli orang tua saja bukan ?

Penting untuk mengajari anak berani berkata "tidak", mengingat berkata "tidak" adalah salah-satu upaya mengajarkan untuk mempertahankan diri. Anak bisa lebih dini menyelamatkan dirinya bila ada hal-hal yang mengancam keselamatannya. Memori otaknya akan dengan segera menyuruhnya untuk cepat waspada. Dan orang dewasa yang mendengar penolakan dari calon korban, tentu harus berusaha keras agar bisa menguasai. Dari situasi tersebut, ada kesempatan seorang anak untuk berontak, lari, dan meminta pertolongan orang lain.

Dalam situasi lain, upaya mempertahankan diri bisa diajarkan untuk keadaan tersesat, kebakaran, bencana alam, kecelakaan, huru-hara, dan sebagainya. Tinggal para orang tua yang harus bisa mengkondisikan situasi darurat yang harus segera diantisipasi sang anak. Mengapa semua itu penting ? Karena kita tidak mau anak kita menjadi korban sia-sia kan, sementara perangkat hukum negara tidak bisa diandalkan untuk bisa menjamin keamanan warganya.

Oleh karena itu, kepada para Ibu, jangan ajari anak gadget tercanggih, dan agar kejahatan yang sama tidak terulang lagi, ajarilah anak-anak anda pendidikan mempertahankan diri. Itu lebih penting daripada urusan gengsi mampu dimilikinya gadget terbaru, namun anak menjadi korban karena ketidak perdulian anda. Setidaknya, anak sudah menjadi korban dari pusaran arus teknologi yang mengosongkan jiwa manusia itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun