Sesaat berakhirnya Perang Dunia I (28 Juli 1914 - 11 November 1918), tepatnya tanggal 3 Maret 1924, Mustafa Kemal Attaturk, resmi membubarkan kekhalifahan Turki Utsmani dan mengganti sistem pemerintahan Turki dari kerajaan menjadi republik. Sejak itu pula rindu dendam akan kegemilangan "Daulah Islamiyah" menjadi latar berbagai gerakan "pemberontakan" umat Islam, terhadap orang-orang, atau umat lain, ataupun negara-negara yang dianggap menjadi penyebab hilangnya kekuasaan Daulah Islamiyah.
Ditambah lagi dengan penjajahan Palestina oleh Israel dan berbagai cerita ataupun peristiwa yang mengiringi kekejaman Israel atas rakyat Palestina, semakin menjadi api dalam sekam yang selalu membara melalui berbagai tindakan, baik serangan bom "bunuh diri", penyerangan, penyanderaan, pembunuhan, dan sebagainya. Peristiwa kekerasan demi kekerasan seakan menjadi lingkaran setan yang tidak pernah henti. Peristiwa satu dibalas oleh peristiwa lainnya. Pembenaran pun digaungkan melalui berbagai khotbah maupun pelajaran agama.
Benarkah Islam telah runtuh karena hilangnya sistem kekhalifahan ? Jawabannya tentu saja tidak. Namun bila dipaksakan atas dalil-dalil ayat suci dan hadits, sudah pasti terjadi silang pendapat. Andaikata kekhalifahan itu perlu, tentu yang layak jadi pemegang kekhalifahan adalah kerajaan Arab Saudi. Masalahnya, sejak Raja Ibnu Saud, Arab Saudi tidak mau mengklaim sebagai pemilik kekhalifahan Islam. Bahkan berdirinya kerajaan Arab Saudi (23 September 1932) adalah diatas reruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani (1299-1924), pemegang status kekhalifahan Daulah Islamiyah yang terakhir.
Bila membayangkan berdirinya kembali kekhalifahan Islam adalah wujud kejayaan islam, tidak akan bisa memperkirakan berapa korban jiwa dan harta benda (kalau mau dihitung) yang harus dipertaruhkan. Mengapa ? Karena umat Islam sekarang ini tersebar di berbagai negara. Dan negara yang harus diperhitungkan adalah Republik Islam Iran. Iran sejak masa kerajaan Persia Kuno tahun 3200 SM, telah berkembang biak dan tumbuh maju baik sebagai bangsa maupun negara. Iran pun menjadi pemegang kekuatan Islam Syi'ah yang kuat.
Bagaimana bila baiknya melihat Islam dari sisi lain. Bukan semata kekuasaan politik ataupun militer. Dua hal ini dibahas nanti. Karena memang sebenarnya Islam berdaulat adalah karena peradabannya. Islam mengajarkan membaca dan menulis, mengajarkan persamaan hak antara sesama manusia, mengajarkan logika dalam berpikir, mengajarkan kejujuran dan keadilan, mengajarkan keutamaan ahlak, mengajarkan masyarakat yang tertib dan demokratis, mengajarkan keberanian atas dasar kebenaran, dan seterusnya.
Dalam sejarah, telah banyak beraneka bangsa dan negara lahir, tumbuh, berkembang, dan akhirnya runtuh silih berganti. Namun hanya bangsa dan negara yang memiliki peradaban saja yang tertera dengan tinta emas sejarah kehidupan manusia. Bangsa dan negara yang melulu mengandalkan kekuatan tempur, akhirnya hilang lenyap dengan secuil kisah. Sejarah lebih membanggakan peradaban Yunani daripada Sparta. Sejarah lebih melihat kedatangan bangsa Eropa ke benua Amerika adalah sebagai penjarahan atas peradaban suku Indian.
Sejarah mengabadikan penemuan demi penemuan yang diawali dengan alat-alat sederhana yang melahirkan peradaban industri di Eropa yang kemudian memutar balik era imperialisme kuno menjadi imperialisme industri. Selanjutnya, masa berkembangnya kekhalifahan Islam abad ke 6 sampai abad ke 20, adalah karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan dari masa abad ke 7 sampai 11. Itulah masa keemasan sejarah Islam.
Dengan demikian, bila ingin mengembalikan kejayaan Islam, yang lebih diperlukan adalah perubahan cara berpikir dan bersikap terhadap hal-hal yang baru. Jangan lagi semuanya dicap bid'ah, haram, syirk, thaghut, dan sebagainya yang seram-seram. Melainkan dipelajari, dikritisi, dan didiskusikan untuk diambil hikmahnya guna kemaslahatan ummat. Tidak boleh pula adanya pengkultusan paham kelompok sendiri. Karena hanya akan memperuncing perbedaan pendapat yang memang sudah dari "sononya" terjadi.
Mungkin karena masih banyak kefakiran, kemiskinan, kebodohan, juga ketidak adilan yang menimpa umat Islam, akhirnya mengakibatkan rasa kecewa, rendah diri, sekaligus dendam, maka tudingan pun diarahkan ke berbagai sasaran. Apakah itu modernisasi, demokrasi, kristenisasi, liberalisme, plurarisme, ateisme, dan masih banyak lagi, membabi buta dibenci dan dilawan.
Cuma masalahnya, bagaimana pertanggungjawaban kepada umat Islam yang awam, yang mungkin hanya bisa beribadah sekadarnya. Apakah mereka harus diajak (dipaksa ?) untuk ikut memikirkan ide-ide yang bukan berasal dari mereka sendiri ? Atau bagaimana bila dibalik, apakah para penggagas itu siap menanggung tanggung jawab dosa-dosa atas ketidak tauan para pengikutnya ? Bukankah akan lebih baik bila terlebih dahulu mencerdaskan dengan ilmu pengetahuan dan menyejahterakan dengan pemenuhan kebutuhan dasar umat Islam ?
Bila semua itu terpenuhi, maka Daulah Islam akan terwujud secara lebih berhikmah, yaitu tidak saja untuk kepentingan persaudaraan sesama muslim, melainkan juga hubungan yang baik dengan non muslim. Walau bagaimana pun juga tadinya semua umat manusia adalah umat yang satu. Perkara siapakah yang terbaik dan masuk surga, sudah pasti tidak ada seorang pun yang dapat menentukan. Dalil ayat suci pun hanya bisa diterjemahkan dan tidak bisa diklaim menurut kebenaran sendiri.