Mohon tunggu...
Rofatul Atfah
Rofatul Atfah Mohon Tunggu... Guru - Guru Tidak Tetap

Seorang guru biasa dan Ibu dari anak-anaknya yang istimewa.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Cerita tentang Hutang

16 November 2012   04:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:15 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memikirkan hutang seperti menjawab pertanyaan "hidup" atau "mati". Kalau dulu ketika kecil sampai menjelang rumah tangga, saya sering memberikan pinjaman kepada teman, adik, ataupun saudara sepupu. Tapi sekarang setelah berkeluarga, justru saya yang menjadi penghutang. Sering saya berpikir bagaimana kalau tiba-tiba mati, ruh saya akan mengawang-awang karena masih ada hutang, sementara hutang saya berceceran dimana-mana. Namun siapa perduli jika dalam situasi bagai hidup atau mati, yang terbayang adalah wajah anak-anak saya yang memelas, sedangkan tidak ada uang sepeserpun di tangan. Apalagi di ATM.

Sebenarnya saya tidak mau berhutang, alasannya takut keburu mati sementara hutang belum lunas. Tapi mau tidak mau akhirnya berhutang juga. Meski saya guru, tapi karena status masih honorer, dan meski suami juga kerja, tapi dia hanya sebagai konsultan lepas yang tergantung proyek. Kalau proyek berjalan panjang tentu  saya dapat bernafas lega. Malangnya kalau proyeknya pendek, cuma tiga hari misalnya proyek pelatihan, maka saya harus cepat-cepat memutar otak berakrobat menyiasati keuangan.

Penyebab hutang itu sendiri macam-macam. Paling sering kalau suami sedang nganggur. Lainnya karena kebutuhan mendadak yang mendesak. Pernah juga karena agen asuransi kabur membawa uang premi, sehingga terpaksa saya harus membayar dua kali lipat untuk dua anak saya. Salah saya juga sih,  memberi uang premi tanpa kwitansi. Itupun saya mulanya yakin saja dengan jaminan si agen akan memberi kwitansi belakangan. Ternyata sampai saya berganti agen lain, uang saya yang dulu tidak pernah kembali.

Saat saya sedang berat-beratnya memikirkan hutang, saya tetap ikhtiar, baik melakukan ibadah sunnah ataupun mencari tambahan penghasilan. Alhamdulillah, sering juga ada uang tambahan dari sekolah. Baik sebagai guru les, maupun berbagai tunjangan dari pemerintah pusat dan daerah. Masalahnya, sering kali tunjangan itupun datang terlambat, harus menunggu tiga bulan, baru cair. Ketika uang di dapat, sekejap habis untuk bayar hutang. Dan keterlambatan tunjangan itulah yang juga menjadi penyebab saya berhutang.

Tapi saya masih bersyukur, setidaknya keluarga sehat. Saya juga berterima kasih kepada teman-teman yang berbaik hati bersedia menghutangkan saya dan menunggu sekian lama hutangnya dibayar. Saya juga salut kepada seorang ibu yang katakanlah rentenir (sebut saja ibu E), tapi bukan rentenir seperti yang saya bayangkan selama ini. Ibu itu begitu baik mau meminjamkan uangnya ke saya. Bahkan dibandingkan dengan seorang ibu yang lain (sebut saja ibu A) juga meminjamkan uang, bunganya masih berbilang rendah. Padahal ibu E seorang Kristen, sedangkan ibu A muslim.

Perlu saya sampaikan, seringkali orang bersikap sinis bila berkaitan dengan agama. Bila orang Kristen baik, pasti dibilang kristenisasi. Saya sendiri sejak kecil hingga sekarang ini, selalu ada teman yang beragama Kristen. Saya pun berbagi cerita soal hutang dengan tetangga yang beragama Kristen yang juga punya masalah yang sama. Dari tetangga itu pulalah saya mendapat kekuatan, bahwa berhutang itu adalah bentuk perjuangan seorang ibu untuk menyelamatkan keluarganya.

Kedengarannya terlalu heroik. Apalagi bila kita tidak berada dalam situasi yang sama, tentu saja iya. Saya sendiri sudah pernah merasakan, ketika seharian tidak ada makanan sama sekali untuk dimakan, juga beras, sorenya untuk pertama kali saya nekat berhutang ke toko Cina. Alhamdulillah diberikan. Kami sekeluarga akhirnya bisa makan.

Belum lagi ketika uang SPP anak belum bayar 2 bulan, juga ada tagihan uang daftar ulang. Listrik, telepon, televisi berbayar, mobil, belum dibayar, bahkan rumah hampir disita, apalagi yang bisa dilakukan kecuali berhutang. Saat-saat sulit seperti itu, ada beberapa tayangan televisi tiba-tiba saja hadir seolah ingin menguatkan saya. Satu diantaranya adalah film Toy Story 2. Dimana nilai moral yang disampaikan adalah hidup jangan sampai menyerah, harus ikhtiar hingga hasil didapat, betapapun kecilnya.

Pun setelah saya menyimak berbagai pengajian juga ceramah Ustadz Yusuf Mansur, saya bisa mengambil hikmah dari semua itu. Tidak hanya itu, saya tidak merasa sendiri. Banyak orang terkenal yang dulunya juga punya masalah, tapi akhirnya bisa berhasil dan sekarang kaya. Bukankah juga banyak orang yang berhutang melalui kartu kredit ? Juga bos-bos besar begitu pula negara ?

Sekarang, meskipun saya masih punya hutang, saya tidak takut lagi. Saya  tetap berkomitmen untuk bisa menyelesaikan semua hutang maupun tunggakan, seraya meyakini seyakin-yakinnya bahwa masih ada Allah yang selalu hadir melindungi dan mengasihi hamba-Nya yang berserah diri kepada-Nya. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun