Banyak cara dalam menangani masalah anak didik tanpa harus membawanya ke ruang BK (Bimbingan Konseling). Saya tidak anti BK. Hanya saja, tidak semua masalah harus dibawa ke guru BK di ruang BK. Peran setiap guru sebenarnya adalah diharapkan juga dapat memberikan bimbingan dan konseling kepada setiap siswa yang bermasalah. Dan tidak semua siswa yang bermasalah dapat dituntaskan hanya dengan rekomendasi dari guru BK.
Siswa yang bermasalah, mempunyai latar bermacam-macam. Setiap siswa yang bermasalah pun tidak berarti boleh begitu saja diangkat sebagai kasus kriminal. Bermasalah disini dalam arti ada ketidak mampuan dalam diri siswa tersebut untuk mengatasi ancaman dan tantangan yang datang dalam kehidupannya. Sayangnya kecenderungan siswa yang dianggap bermasalah dan dibawa ke ruang BK adalah sudah dipastikan dicap jelek.
Biarpun siswa tersebut sebenarnya korban, tetap dipandang ada kesalahan dari diri siswa tersebut. Begitu pula bila ada siswa yang semata ingin konseling, bisa saja nanti berbalik arah memvonis sebagai pelaku. Sehingga bagi sebagian siswa ruang BK disebut ruang "angker" dan guru BK cenderung dianggap tidak bersahabat.
Andaikata sistem rekrutmen guru BK khususnya dan guru-guru umumnya memperhatikan aspek analisis kepribadian, tentu para siswa akan sangat nyaman bersekolah. Ketika meninggalkan sekolah menjadi berat karena banyak kenangan indah yang tertinggal di sana. Bukan malah bersyukur karena sudah tidak bersekolah lagi dan terbebas dari segala jeratan kasus.
Tulisan di bawah ini saya ungkap sekedar berbagi pengalaman dalam menangani kasus anak-anak. Tidak ada maksud di hati saya untuk bersifat riya. Dan dibalik semua pengalaman mengajar saya, ada juga banyak kesalahan dan kekurangan dalam mengajar dan mendidik para siswa. Berikut beberapa pengalaman yang bisa diceritakan.
Ketika masih mengajar di Jakarta Barat, di sebuah SMA Negeri yang sering tawuran, saya mendekati anak-anak yang suka tawuran dengan ngobrol sambil makan di kantin. Komandannya saya ajak ngobrol di luar kelas. Saya juga ikut turun tangan nimbrung di ekskul rohani Islam masjid sekolah. Bahkan saya ikutan dengan suka rela memimpin rohis sekolah dalam aksi rohis se rayon ketika terjadi krisis Bosnia. Hasilnya, selama satu tahun mengajar di sana, tawuran tidak pernah terjadi.
Ketika mengajar di sebuah SD swasta terkenal di Jakarta Selatan, saya merubah dinamika kelas dari pengaruh kompetisi para orang tua (baca : gengsi ibu-ibunya) menjadi kompetisi sehat dari anak-anak itu sendiri. Meski resikonya tidak disukai para orang tua yang anaknya terkena degradasi ranking, saya tetap menghargai anak apa adanya. Hasilnya, saya pun dikeluarkan dari sekolah.
Jauh sebelum itu, di tahun 1996 ketika mengajar di sebuah SMP Negeri di Jakarta Selatan, saya berusaha menghidupkan suasana kelas menjadi lebih hidup. Prestasi setiap anak diunjukkan, dan saya pun berusaha mengeksplor kemampuan yang dimiliki agar bisa memberikan yang terbaik untuk anak-anak. Sayangnya sayapun tidak bertahan lama di sekolah ini.
Lalu di sekolah yang sekarang, setiap ada absensi yang lebih dari 3 hari berturut-turut, tanpa harus menunggu dampingan dari guru BK, saya melakukan kunjungan ke rumah siswa. Berdialog dengan orang tua dan siswa yang bersangkutan, turut berdiskusi mencari jalan keluar, hingga memberikan ultimatum jika absen masih terus dilakukan. Selain itu, saya membuka ruang curhat kepada setiap siswa, apapun masalahnya.
Curhat, atau curahan hati sebenarnya dapat menjadi kanalisasi dari belitan masalah. Saya pun berusaha berperan sebagai pendengar yang baik. Tidak menggurui apalagi menghakimi. Ketika memberi solusi, kepada siswa diberikan berbagai pilihan agar mereka terbiasa mampu berfikir alternatif dalam menyelesaikan masalahnya. Karena bila hanya diberikan sebuah solusi, mereka tidak akan dapat menggunakan akal pikirannya untuk memecahkan masalah yang paling sederhana sekalipun.
Sebenarnya ada banyak kasus yang berhasil saya tangani. Baik dari mereka yang masih diajar sebagai murid di sekolah, hingga yang sudah alumni. Ada masalah ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, persaingan kelompok, dibully oleh teman maupun guru, hingga mengatasi kesurupan.