Mohon tunggu...
Rofatul Atfah
Rofatul Atfah Mohon Tunggu... Guru - Guru Tidak Tetap

Seorang guru biasa dan Ibu dari anak-anaknya yang istimewa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kenapa Harus Ngotot Kereta Cepat?

3 Oktober 2015   19:26 Diperbarui: 29 Januari 2016   16:46 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menteri BUMN tampaknya ngotot membangun kereta cepat Jakarta-Bandung (Kompas, Sabtu 23 Oktober 2015). Meski untuk itu selama 40 tahun anak cucu Indonesia harus menanggung hutang dari China Development Bank (CDB). Meski Kementerian Perhubungan enggan menerima proposal pembangunan kereta cepat, Bu Rini tetap maju terus. Mengapa harus Jakarta-Bandung ? Katanya Jakarta-Bandung adalah jalur komersial yang diperkirakan cepat meraup keuntungan jika dibangun kereta cepat. 

Saat ini di jalur kereta Jakarta-Bandung sudah ada kereta Argo Parahyangan yang bolak-balik sebanyak 9 (sembilan) kali dari stasiun Gambir menuju Bandung dan sebaliknya. Jika dihitung dari pemakaian rel Daerah Operasi II, maka di rel yang dilalui Argo Parahyangan ada jalur kereta Bandung-Cirebon, dan kereta lokal Jakarta - Purwakarta, Purwakarta - Cicalengka, dan Purwakarta - Cibatu (Garut). Belum lagi dari Jakarta hingga Cikampek menjadi jalur padat berbagai kereta dari dan menuju Jawa Barat (Cirebon), Jawa Tengah, Yogyakarta, lalu Jawa Timur. Maka meski akan dibangun jalur baru, kepadatan jalur Jakarta-Cikampek akan semakin bertambah dengan adanya kereta cepat. 

Pembangunan jalur baru tersebut direncanakan akan melalui kawasan industri yang bertebaran mulai dari Jakarta hingga Bandung, melewati Bekasi, Karawang, dan Purwakarta. Stasiun akhirnya pun di Gedebage, bukan di stasiun besar Bandung. Tetapi, apakah kawasan industri yang dimaksud akan benar-benar dilalui, rasanya perlu dipertimbangkan dengan matang. Sebab kawasan industri yang bertebaran di 3 (tiga) daerah tersebut tidak benar-benar berada di jalur utama. Sehingga tetap harus melewati jalur kota yang padat dan juga macet sebelum sampai ke stasiun.

Mengapa pembangunan kereta cepat tidak dilakukan di jalur Jakarta - Merak saja ? Jalur Jakarta - Merak masih potensial untuk dibangun kereta cepat. Selain topografi wilayah yang dilalui tidak pegunungan, juga terdapat lebih banyak kawasan industri. Tambahan lagi, jalur Jakarta - Merak menghubungkan daerah sumberdaya Sumatera dan Jawa, yang nilai ekonomisnya jauh lebih besar daripada Jakarta-Bandung. Tidak hanya itu, perlu juga dibangun kereta cepat Anyer - Panarukan, Banda Aceh - Rajabasa, Manado - Makassar, Tarakan - Palangkaraya, Sorong - Jaya Pura, dan Gili Manuk - Benoa.

Akan lebih bermartabat lagi bila pembangunan kereta cepat dilaksanakan oleh para putera terbaik bangsa Indonesia dan perusahaan terbaik Indonesia. Sehingga hutang yang selama 4o tahun (dan bukan dari luar) tidak akan jadi beban, bahkan bisa menjadi saham para anak negeri. Ingat, mulai dari sekarang Indonesia sedang menuju generasi emas di tahun 2030, jika semuanya bergantung pada luar, tidak usah berharap apapun untuk Indonesia, apalagi semboyan Nawa Cita.

Hendaknya pembangunan kereta cepat harus dikaji lebih detail. Terutama untuk mencegah dari jeratan korupsi yang berakibat para penandatangannya terancam ditangkap KPK. Masa mau jadi tersangka untuk kedua kali ? Lebih kejam lagi bila hanya bawahan yang akan jadi korban, baik terjerat sangkaan korupsi ataupun tidak dianggap lebih baik dari pekerja asing, meski sama-sama sebagai tukang batu. Jangankan itu, tidak bisa berbahasa Indonesia saja mereka boleh kerja kok. Oh iya tambahan, dalam rentang waktu 40 tahun, jika pendanaan kereta cepat jadi meminjam dari CDB, harus diperhitungkan sekian waktu berbagai emosi kekecewaan yang terpendam yang dikhawatirkan bisa meletup menjadi kekerasan. Oleh karena itu, tidak boleh sampai terjadi kerusuhan Mei 1998 yang kedua. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun