Mohon tunggu...
Rofatul Atfah
Rofatul Atfah Mohon Tunggu... Guru - Guru Tidak Tetap

Seorang guru biasa dan Ibu dari anak-anaknya yang istimewa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

CSR (Bukan) untuk Membangun Sekolah

6 Desember 2013   01:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:16 1821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Untuk posisi ketenaga kerjaan, mayoritas adalah petani (34 %) dan tinggal di perdesaan (82 %) dengan capaian tingkat pendidikan hanya sampai tingkat pendidikan dasar (78, 1 %). Ironisnya yang bekerja di sektor pertambangan hanya sekitar 6,28 %. Memang banyak faktor yang dapat menjelaskan mengapa untuk tingkat pendidikan, lebih banyak pada capaian hasil sampai tingkat pendidikan dasar saja. Mungkin saja data tersebut tidak mencantumkan berapa banyak yang menempuh pendidikan pesantren. Padahal dengan mayoritas Muslim dan pula masyarakat Sumbawa khususnya fanatik dalam beragama, bisa saja meskipun datanya hanya berpendidikan dasar, namun bukan berarti mereka tidak sepintar orang yang berpendidikan sarjana.

Di sisi lain, perlu diingat, bahwa sistem pendidikan di Indonesia turut mempengaruhi cara pandang dan sikap untuk meneruskan sekolah hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Maka walaupun secara statistik rasio antara guru dan murid mencukupi (tingkat SD 1 : 14, SMP 1 : 8, SMA 1 : 15, dan SMK 1 : 7), sayangnya keberadaan sekolah lanjutan setelah SD menjadi kendala anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikannya hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Tentunya masih ingat bukan kisah "Jembatan Indiana Jones" yang memperlihatkan perjuangan anak-anak sekolah SD dan SMP di kabupaten Lebak, Banten, untuk mencapai sekolahnya di seberang sungai.

Bertahun sebelumnya juga ada tayangan bagaimana para anak sekolah di pelosok Tasik Malaya yang sampai harus renang menyeberangi sungai. Begitu pula para siswa di pedalaman Kalimantan, Papua, Sumatera, dan seterusnya yang memperlihatkan wajah sesungguhnya perjuangan untuk meraih pendidikan dari para anak bangsa. Itu baru bagaimana cara berangkat ke sekolah. Belum lagi ketiadaan guru (apalagi yang berkualitas dan berdedikasi tinggi)  di pelosok-pelosok negeri. Gedung sekolah yang buruk, dan berbagai cerita semacam "Laskar Pelangi" sejak lama dan akan terus menceritakan buruknya manajemen Pendidikan dan Pengajaran di Indonesia.

Hasil PISA 2013 memperlihatkan bagaimana mutu sistem pendidikan di Indonesia di peringkat 64 dari 65 negara, jelas belum mampu bersaing dengan negara lain. Sekian banyak hasil olimpiade pendidikan tingkat internasional yang diraih para siswa Indonesia, tetap belum mampu menutupi kenyataan di atas. Maka menjadi tantangan berat, bahwa teramat penting mengelola pendidikan dan juga pengajaran dengan sebaik-baiknya. Agar nantinya tidak menghasilkan para anak didik yang menjadi konsumen semata ataupun buruh kontrak dari kekayaan alamnya sendiri.

Oleh karena itu, muatan pendidikan di sekolah harus bersifat progresif mengikuti perkembangan, namun tetap didasarkan atas hasil analisis terpadu antara faktor sosial, budaya, geografi, dan hukum. Sekolah tidak harus mewah, akan tetapi sekolah harus dilengkapi fasilitas yang menunjang kegiatan belajar mengajar. Guru boleh dari PNS boleh umum, akan tetapi harus ada standar guru yang layak mengajar. Setiap anak yang hendak sekolah didata secara menyeluruh, gunanya untuk mengetahui kemungkinan masalah yang dapat terjadi dan upaya mengatasinya dengan mendidik dan melatih sesuai potensinya masing-masing.

Satu hal penting, meski kurikulum bersifat nasional, tetap harus mengadakan kajian terhadap materi ajar, sumber belajar, dan evaluasi hasil belajar. Agar benar-benar dapat menghasilkan mutu lulusan yang benar-benar baik. Tidak sekedar naik kelas ataupun lulus ujian nasional. Namun lebih dari itu, yaitu mampu berfikir logis dan bermental tangguh. Supaya tidak bersikap cengeng ketika menghadapi tantangan kehidupan, terutama menghadapi persaingan mendapatkan pekerjaan setelah lulus sekolah.

Sehingga nantinya, jika seandainya PT. NEWMONT benar-benar berhenti beroperasi tanggal 12 Januari 2014, dampaknya tidak bersifat mendasar. Dimana masyarakat secara umum tiba-tiba saja seperti dibangunkan dari mimpi tidur siang bolong, yang semula hidup nyaman tetapi sekejap berubah menjadi sengsara. Dan di kemudian hari seakan-akan saja, sisa-sisa pertambangan menjadi mimpi seram rusaknya lingkungan dan strata masyarakat.

Sebagai penutup, Corporate Social Responsibility hendaknya benar-benar dimaknakan sebagai tantangan untuk menjadikan hari ini lebih dari hari kemarin dan hari esok lebih baik daripada hari ini. Bukan sebagai bagi-bagi uang apalagi suap sekedar untuk mengatasi masalah jangka pendek. Walaupun bentuknya berupa pembangunan sekolah, tetapi bila tidak disertai dengan perencanaan yang baik, menyeluruh dan terpadu, tetap saja dapat memicu masalah sosial yang lebih berat di kemudian hari.

Terlepas dari masalah perundang-undangan ataupun lainnya, semoga saja PT. NEWMONT masih tetap beroperasi dan melanjutkan CSRnya secara lebih baik lagi. Agar dapat memberi manfaat dan disayang oleh masyarakat banyak di Sumbawa Barat khususnya, dan bukan memberi manfaat dan disayang hanya oleh sekelompok orang saja. Harapan masih terbentang, dan perubahan ke arah yang lebih baik meski hanya 1 langkah, masih dimungkinkan, bukan ?

Bogor, 6 Desember 2013

sumber :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun