Berita di harian Kompas, Senin 31 Desember 2012, yang berjudul "Tunjangan Profesi Langsung ke Guru" (halaman 12), sebenarnya bukan berita luar biasa. Sepertinya bapak Menteri adalah orang yang selalu lurus memandang suatu masalah. Saya yakin, bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan adalah orang yang baik dan dapat dipercaya.
Hanya saja, ketika membaca berita kompas tersebut, saya cuma bisa tersenyum getir. Setelah sekian tahun berhadapan dengan birokrasi, rasanya ada yang mustahil untuk dipercaya. Kenapa tidak ? Karena tentunya para aparat lebih pandai menyiasati rencana bapak Menteri.
Selama ini saja, untuk mendapatkan tunjangan fungsional (bagi guru honorer) Â pun sebelumnya harus diajukan oleh dinas, dan ditanda-tangani para guru. Setelah itu menunggu uang cair. Kalau uang sudah cair, harus memberikan laporan dan menanda tangani lagi. Jadi, sebelum dan setelah mendapatkan pun sudah berhadapan dengan birokrasi. Sehingga tidak perlu apakah uang itu melalui rekening atau aparat, tetap saja harus berhadapan dengan birokrasi balas jasa.
Tunjangan fungsional ditetapkan setiap bulannya menerima Rp 300.000,-. Bila keluar enam bulan sekali maka diperoleh Rp 1.800.000,-. Sangat lumayan untuk merencanakan pembelian barang yang dibutuhkan. Setelah dipotong pajak, maka diperoleh Rp 1.710.000,-. Â Namun, diterima di tangan hanya Rp 1.560.000. Karena 150.000 untuk balas jasa. Itu untuk setiap orangnya, kalau dikalikan 100 orang guru yang memberikan uang jasa, berapa banyak uang yang diperoleh.
Masalahnya kemudian, ketika tunjangan fungsional keluar menjadi tiga bulan sekali, tetap ada balas jasa per triwulan, yaitu 150.000. Jadi, yang diterima oleh para guru cuma 705.000 per triwulan atau 235.000 perbulannya, dan total balas jasa menjadi 300.000 untuk enam bulan atau 50.000 perbulan ! Untuk seorang guru honorer, tentulah hal itu memberatkan. Meskipun alasannya adalah untuk ongkos berbagai keperluan pengurusan administrasinya. Padahal, tunjangan fungsional sudah diberikan melalui rekening langsung para guru dari sejak awalnya !
Kami sebenarnya tidak membenci birokrasi ataupun aparat. Kami juga bisa memahami kerja keras para rekan mulai dari tata usaha sekolah hingga direktorat jenderal. Namun, setelah memasuki tahun 2013, harus ada yang dibenahi. Kalau perlu berani merombak total. Sekarang ini bukan saatnya lagi membiarkan kultur birokrasi dalam zona nyaman. Sebagai catatan, belanja pegawai dalam APBN-P 2013 adalah sebesar 241,1 trilyun, atau sebesar 35% dari seluruh alokasi yang ada.
Berikut, beberapa hal yang dapat saya usulkan. Pertama adalah, perlu menyeleksi kembali para personalianya mulai dari tingkat kantor kementerian hingga sekolah. Sekarang sudah bukan zamannya prosedur birokrasi bertingkat dan bermeja-meja. Jika sudah ada semacam pusat data dan informasi di kantor kementerian pusat, mengapa tidak dimanfaatkan secara meluas ? Terutama sebagai media pengiriman input dan output berbagai keperluan birokrasi pendidikan.
Yang kedua, perlu diperkuat dan dimanfaatkan peran tata usaha di sekolah. Tidak seperti sekarang ini, peran tata usaha hanya terlihat dalam dua sisi yang saling bertolak belakang. Kalau tidak menjadi kuasa atas guru, bisa juga guru sebagai pemegang kuasa atas tata usaha. Â Maka yang terjadi adalah ketidak harmonisan ataupun kepura-puraan harmonis di antara guru dan tata usaha.
Bila saja peran tata usaha di sekolah diperkuat dan dimanfaatkan juga penggunaan mekanisme pusat data dan informasi kementerian, maka birokrasi di dinas pendidikan tingkat kota/kabupaten dan provinsi serta di kantor kementerian, bisa dipangkas hampir 75%nya. Pertanyaannya, apakah hal tersebut tidak menciptakan pengangguran baru ?
Jawabannya, sebelum dirasionalisasi, para aparat diberikan pelatihan wiraswasta sebagai bekal hidup setelah tidak menjadi birokrat lagi. Bukankah Indonesia masih kekurangan 4,76 juta wirausahawan ? Maka sekarang yang perlu adalah mendesain ulang pola pikir masyarakat Indonesia yang masih mengidolakan PNS sebagai jaminan kerja yang aman dan nyaman dan menggantinya dengan mempromosikan citra manusia Indonesia baru yang kreatif, inovatif, dan produktif.
Terakhir, untuk para guru honorer, sekalipun pahit, mimpi untuk menjadi PNS sebenarnya sudah tidak layak lagi. Saya malah optimis, bila program sertifikasi guru terus dilanjutkan, akan menghasilkan sistem kepegawaian guru yang tidak lagi melulu berdasar status PNS atau non PNS. Melainkan atas dasar profesionalisme yang kalau perlu harus ditingkatkan hingga level internasional. Dengan demikian, tidak akan lagi orang berbondong-bondong bersusah payah mengabdi menjadi guru honorer dengan berbagai motivasi, sementara kualifikasi hanya sebatas ijazah ataupun akta sebagai guru.
Percayalah, menjadi guru tidak semata dilihat PNS atau tidaknya. Melainkan dilihat dari kemampuan mengajar dan kepercayaan dari para anak murid.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H