Apakah kebetulan peringatan hari Kartini disandingkan dengan peringatan hari Bumi ? Tanggal 21 April hari Kartini dan 22 April hari Bumi. Dalam mitologi Indonesia, bumi diidentikkan dengan perempuan, Ibu Pertiwi atau Dewi Pertiwi. Tidak hanya itu, padipun diserupakan dengan perempuan, Dewi Shri atau sering disebut Dewi Sri. Dewi Sri ataupun Nyi Pohaci dalam tuturan Sunda, disetarakan dengan makna kebaikan, kesuburan, pertanian, dan kehidupan. Sedang wujud perempuan yang lain adalah sebagai penguasa, yaitu Nyi Roro Kidul atau Kanjeng Ratu Kidul.
Nyi Roro Kidul dimitoskan sebagai mahluk jin penguasa laut selatan Jawa yang ganas sekaligus baik karena memberi limpahan ikan, dan memberi keberkahan bagi setiap raja Jawa. Ada lagi perwujudan perempuan dalam bentuk sosok dan peran yang tidak menyenangkan. Yaitu Dewi Durga dan Nyi Gendeng Permoni. Dibandingkan di India, dalam pewayangan Indonesia Dewi Durga adalah sosok sebentuk raksasa dan lebih sering dikonotasi dengan kematian, kerusakan, malapetaka, dan sebagainya.
Nyi Gendeng Permoni juga sebentuk raksasa, dan dikaitkan sebagai salah-satu jelmaan dari Dewi Durga. Sekarang ini malah Nyi Gendeng Permoni dikonotasikan dengan sosok penguasa laut utara Jawa, bersaing dengan Nyi Roro Kidul. Seandainya ada wayang untuk R.A. Kartini, tentu sosok Dewi Sri yang cocok mewakili. Yaitu Dewi Sri yang membumi, welas asih, cerdas, dan berani. Meski beliau seorang bangsawan, perilakunya tidak menunjukkan sebagai penguasa. R.A. Kartini lebih tepat sebagai pemikir, filsuf, dan seorang perempuan bangsawan yang bersahaja.
Oleh karena itu yang kita peringati dari R.A. Kartini adalah jasa-jasa beliau memikirkan sejak dini mengenai emansipasi perempuan di Indonesia. Tetapi beliau juga manusia biasa, sehingga masih takluk dengan pilihan jodoh orang tuanya. Disisi lain, kepahlawanan R.A. Kartini memang tidak harus berupa perjuangan penuh heroisme selayaknya Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Keumala Hayati, Christina Martha Tiahahu, dan sebagainya. Karena memang lahan perjuangan R.A. Kartini adalah tulisannya. Tulisannya itulah yang menjadi senjata untuk melawan penjajahan dalam arti lain. Yaitu penjajahan terhadap harkat dan martabat perempuan.
Sejak itulah mulai terpikirkan bahwa perempuan tidak sekedar pelengkap ataupun pendamping lelaki. Perempuan juga manusia yang mempunyai pikir, rasa, dan karsa yang bernilai setara dengan pikir, rasa, dan karsa lelaki. Maka sepatutnya pula perempuan mengambil posisi lebih jelas dan tegas untuk mengayomi kehidupan di bumi, menumbuhkan dan melestarikannya. Jangan sampai bersikap seperti para raksasa yang menghancurkan segala-galanya, atau maunya hanya dipuja selayak penguasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H