Gelap mulai mendekap ku, sangat erat.
Hangat terasa, dan kenangan pun menjelaga.
Hanya tirta telaga tujuh warna perlahan memudarkan jelaga mu pada malam ku.
Nyaris pudar, kau hilang menjelma pendar.
Pudar sudah...
Dalam dekap sang gelap, mestinya ku terlelap.
mencumbu mu dalam tirakat malam menjemput sepertiga kelam.
Kelambu usang pertempuran dalu telah lama lusuh saat kau putuskan tuk berlalu.
Aku, kau dan kenangan merangkai dzikir batu akan kesetiaan selasa atas rabu.
Mulailah berhitung karena segera kan tiba itu waktu.
Kisah kau dan aku pernah menyerupa gelombang.
Kisah kita kini menghadirkan tsunami tak tersudahi.
Gelombang tsunami itu, menelanjangi rahasia tersembunyi ku.
Tentang mu dan ribuan malam yang berlalu.
Tentang ku dan ketakmampuan menghapus kisah itu.
Tentang luka yang darah nya membasuh perih kita.
Tentang bisu sang kala saat bertutur tentang kita punya cerita.
Malam ini biarkan saja dia menikmatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H