Mohon tunggu...
Burhan
Burhan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Warga Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta Selatan.

Selanjutnya

Tutup

Money

Berdaulat Pangan yang Berkearifan Lokal dan Berkelanjutan

21 Oktober 2012   08:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:34 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jumat, 5 Oktober 2012

Senangnya perasaan hati karena beberapa jam lagi di hari ini aku akan menginjak tanah yang sama sekali belum terjamah jejak kakiku. Tanah Garut. Yang terbayang adalah udara yang segar tanpa polusi seperti di ibukota negara ini yang setiap hari ku hirup racun-racunnya.

Mari kita awali perjalanan ini dari Sekretariat Bersama Indonesia Berseru (SBIB), tempat di mana segala kepedulian akan Indonesia yang mandiri, tempat segala cita berdaulatnya rakyat ini akan pangan. Difasilitasi oleh Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS), kami berkumpul di SBIB untuk bersama-sama berangkat menuju Garut.

[caption id="attachment_219039" align="aligncenter" width="300" caption="Siap Menuju Garut"][/caption]

Bagi kami, sepasukan sepuluh pemuda yaitu Agung, Aisyah, Anggi, Burhan, Eko, Indah, Kokom, Nafis, Sopy, dan Takin, ke Garut kali ini bukanlah sekedar berwisata. Namun, sebagai tempat menggali sumber mata air pelepas dahaga akan ilmu, pengalaman dan inspirasi. Di sana kami akan belajar dan pula mengalami menjadi petani, bersama para pemuda tani hebat dari Pesantren Ath-Thaariq pimpinan Abi Ibang Lukman.

Rombongan kami yang didampingi oleh salah seorang dari ADS, yakni Mas Halim, menumpangi dua unit taksi menuju ke Pull Bis Primajasa di Cawang untuk dari sana berangkat menuju Garut. Namun kami tidak langsung berangkat karena harus menunggu bis selanjutnya, sebab bis yang ada sudah tidak cukup untuk kami bersebelas. Butuh sampai sekitar setengah jam hingga kami benar-benar beranjak dari tempat itu.

Namun, lagi-lagi kami terhambat oleh macet ketika menuju gerbang masuk tol, memakan waktu sekitar dua jam. Dan di jalan tol pun bis melaju perlahan di awal-awal setelah memasuki gerbang tol, sehingga perjalanan terasa panjang.

Kilometer ‘Angker’ dan Nagreg

Malam di kilometer ‘angker’ tol cipularang, seisi bis disuguhi oleh pemandangan mengerikan hasil tabrakan beruntun. Tak begitu sempat ku menghitung jumlah pasti mobil yang menjadi korban, namun yang paling teringat adalah satu mobil bak pick-up pengangkut sayur-sayuran yang telah lebur di antara bis besar di depannya dan truk di belakangnya yang lebih besar lagi yang juga sudah berada di atas dua per tiga badan pick-up.

Nagreg, sebuah nama yang cukup terkenal, khususnya pada saat-saat arus mudik maupun balik sekitar Hari Raya Idul Fitri. Di televisi seringkali jalur ini dipantau, plus penjagaan yang cukup ketat dari petugas Polisi Lalu Lintas. Dan pada hari ini aku pun berkesempatan mengunjunginya. Tahukah seperti apa? Sungguh seperti wahana Dunia Fantasi di Ancol itu, bahkan lebih ‘horror’. Dengan kecepatan yang cukup tinggi bis melaju menuruni jalan yang berkelok-kelok ini. Baru ku pahami alasan keantusiasan media massa dan keketatan penjagaan akan jalur ini. Jalur Nagreg.

Kehangatan di Malam yang Dingin

Sekitar jam sebelas malam kami tiba di Alun-Alun Tarogong. Dingin dan basah udara di sana. Ah, ku semakin menyesali keteledoranku yang mengakibatkan jaket hitamku tertinggal di sekretariat. Dari tempat ini kami pun menumpangi tiga delman menuju STKIP untuk kemudian dijemput berjalan kaki menuju tujuan kami di Garut ini, Pesantren Ath-Thaariq. Dalam perjalanan menuju pesantren dari STKIP, kaki kami seringkali tersandung ataupun terperosok lubang kecil persawahan yang kami lewati.

Di tengah persawahan nan gulita, tampak syahdu temaram sebuah bangunan bersahaja yang didominasi tampakan bata merah, kokoh bergeming meski angin tengah malam menyerbu. Dan kemudian rasa mengigil segera bergantikan oleh kehangatan Abi Ibang Lukman yang ramah menyambut kami di teras pesantren. Kami pun yakinlah, betah sekonyong-konyong. Abi mempersilahkan kami duduk beristirahat sambil mengajak kami mengobrol akrab mengenai perjalanan tadi. Sementara para santri mempersiapkan makan malam untuk kami yang sebenarnya sudah siap semenjak bada isya. Makan malam pertama kami di Garut ini ialah, nasi jagung, lotek, opak singkong dan timun segar. Mantap nian. Perut dan lidah pun bergembira mendapatkan sesuatu yang istimewa.

[caption id="attachment_219050" align="aligncenter" width="300" caption="Nasi Jagung"]

1350807807252011674
1350807807252011674
[/caption]

Sabtu, 6 Oktober 2012

Mencangkul dan Diskusi

Pagi pertama di Garut para pria harus mencangkul lahan untuk dibuat balong. Sementara yang perempuan mesti berjibaku menahan aroma kotoran domba untuk dibuat menjadi pupuk kompos. Luar biasa.

[caption id="attachment_219040" align="aligncenter" width="300" caption="Membuat Balong"]

13508070461639995779
13508070461639995779
[/caption] [caption id="attachment_219042" align="aligncenter" width="300" caption="Mengambil Kotoran Domba Untuk Dibuat Pupuk Organik"]
1350807146944764205
1350807146944764205
[/caption]

Siang sampai sore hari kami dengan antusias berdiskusi dengan Abi Ibang mengenai kedaulatan pangan. Menurut Abi Ibang, Kapitalisme sudah masuk ke rumah-rumah petani dengan adanya pupuk kimia dan insektisida. Pupuk kimia ini telah memaksa tanah mengeluarkan unsur hara-nya agar bisa meningkatkan produktivitas sawah, yang mengakibatkan rusaknya struktur tanah. Ditambah lagi meskipun memang berhasil membuat kerusakan tanaman berkurang sehingga membuat lebih untung, insektisida membuat pangan yang dihasilkan menjadi penuh racun yang berbahaya bagi kesehatan. Ini dilakukan atas nama maksimalisasi keuntungan.

Rusaknya struktur tanah ini membuat lahan pada akhirnya akan mati dalam arti tidak bisa lagi ditanami. Kalau sudah begitu sudah tentu kita sendiri yang rugi. Abi Ibang pun mengajak khususnya para petani menjunjung tinggi kearifan lokal seperti yang ia telah implementasikan dalam keseharian di Pesantren Ath-Thaariq. Salah satu contohnya adalah menggunakan pupuk kandang, meskipun kita harus lebih bersabar melalui proses pembuatannya. Namun tentu hal ini akan menjamin keberlanjutan pertanian, yang bermuara kea rah kedaulatan pangan dan kemandirian ekonomi.

Kami pun disarankan oleh Abi Ibang agar berjuang mewujudkan kedaulatan pangan ini dengan keahlian dan keilmuan masing-masing. Bahkan seorang guru Bahasa Indonesia pun dapat memperjuangkannya dengan mengenalkan pangan lokal melalui contoh-contoh kalimat yang biasa digunakan dalam aktifitas belajar dari jenjang Pre-School hingga Perguruan Tinggi.

Kita dapat berjuang mulai dari hal yang terkecil dengan sesuatu yang kita bisa, guna mencapai tujuan bersama yang lebih besar yakni Kedaulatan Pangan. Hal ini sangat mungkin dilakukan, karena memang yang tak mungkin bisa dilakukan itu bila kita sudah mati. Selama kita hidup semuanya adalah sangat mungkin bisa dilakukan. Marilah kita mulai saat ini juga.

[caption id="attachment_219043" align="aligncenter" width="300" caption="Diskusi Kedaulatan Pangan Bersama Abi Ibang Lukman (berpeci)"]

13508072221970100100
13508072221970100100
[/caption] Ahad, 7 Oktober 2012

Kelurahan Sukagalih

Hari kedua kami di Garut, setelah menikmati hidangan Sup Krim Jagung racikan Ummi Nissa Wargadipura, dan melanjutkan mencangkul balong yang kemarin belum tuntas, kami mengunjungi beberapa tokoh untuk berdialog mengenai situasi soscial, ekonomi dan pertanian di Sukagalih. Ternyata di samping tanah yang rusak, seperti sudah disampaikan di atas, lahan pertanian juga menyempit karena proyek perumahan yang dibangun di atas tanah pertanian.

[caption id="attachment_219047" align="aligncenter" width="300" caption="Mengunjungi Tokoh Masyarakat"]

13508073931005531494
13508073931005531494
[/caption] Kemudian diperoleh suatu kenyataan pula bahwa mayoritas warga bukanlah pemilik lahan, namun hanya penggarap yang diupah 20 ribu rupiah untuk perempuan, dan 25 ribu rupiah untuk laki-laki, dari jam 7 pagi sampai jam 1 siang. Tentunya ini tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara layak, apalagi jika bicara pendidikan dan kesehatan. Ini menciptakan suatu kondisi yang disebut Pak Idat, salah satu pejabat kecamatan Tarogong Kidul, dengan nama ‘lingkaran setan’. Masing-masing sisi kehidupan ini saling terkait, yang karena ketidakmampuan secara ekonomi, maka ketidakmampuan ini menjalar kepada sisi lainnya. Yaitu karena tidak berpendidikan tinggi, para pemuda di sana tak bisa mendapatkan pekerjaan karena kurang keahlian dan keilmuan. Akibatnya lagi-lagi ketidakmampuan ekonomi, kemudian menjalar lagi, hingga berputar-putar dalam kondisi ‘lingkaran setan’ yang permanen. Namun tentu perlu disadari bahwa kita dapat memutus lingkaran ini. Dan ini sangat mungkin. Asal semua pihak bersedia membantu menyadarkan warga dan kemudian mengorganisasikan mereka keluar dari situasi ini.

Ke Jakarta Aku Kan Kembali

Setelah sholat ashar dan berfoto bersama seluruh warga pesantren, kami pun harus beranjak untuk pulang kembali ke Jakarta. Membagikan segala pengalaman, ilmu dan inspirasi yang kami dapat 3 hari ini kepada teman-teman lainnya. Meski tahu akan sangat rindu, tapi ini harus terjadi, sambil berharap suatu saat yang tak lama dari ini, kami akan berkunjung ke rumah ini lagi. Garut, dan tentu saja, Pesantren Ath-Thaariq, yang luar biasa inspiratif.

[caption id="attachment_219048" align="aligncenter" width="300" caption="Bersama Para Pejuang Pangan Lokal"]

13508074631974281591
13508074631974281591
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun